REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus tak setuju dengan potensi direvisinya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk mengakomodasi pemekaran tiga daerah otonomi baru (DOB) Papua. Menurutnya, revisi yang dilakukan saat ini justru akan mengganggu segala persiapan Pemilu 2024.
"Dari sisi proses legislatif, saya kira peluang itu semakin tipis mengingat tahapan Pemilu 2024 sudah mulai berjalan. Perubahan pada UU Pemilu bisa mengganggu tahapan yang sudah disiapkan penyelenggara pemilu," ujar Lucius saat dihubungi, Kamis (23/6/2022).
Diketahui, jika Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan terbentuk, setiap provinsi tersebut harus memiliki setidaknya tiga kursi di DPR. Sedangkan dalam Pasal 186 UU Pemilu diatur ihwal jumlah anggota DPR yang sudah ditetapkan sebanyak 575, artinya jumlah tersebut tak boleh ditambah. Adapun jumlah kursi di DPR untuk Dapil Papua saat ini adalah sebanyak 10 kursi.
Lucius menilai, tak dipikirkannya persoalan jumlah kursi dan daerah pemilihan (Dapil) di Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan menjadi tanda adanya keterburu-buruan dari pemerintah untuk melakukan pemekaran. Padahal seharusnya, proses pembahasannya haruslah memikirkan Pemilu 2024 yang tahapannya sudah dimulai.
"Jangan sampai urusan pemekaran wilayah memengaruhi tahapan pemilu secara nasional. Maka penting bagi DPR dan pemerintah untuk mempertimbangkan keputusan memekarkan wilayah Papua dari sisi waktu, jika keputusan itu memengaruhi secara signifikan peraturan lain seperti UU Pemilu," ujar Lucius.
Dalam pembahasannya, panitia kerja (Panja) Komisi II DPR menggunakan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari draf RUU Provinsi Papua Selatan yang kemudian disesuaikan dengan dua RUU lainnya. Dalam Pasal 15 Ayat 1 draf ketiga RUU DOB Papua itu dijelaskan, jumlah kursi untuk Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan ditetapkan sebanyak tiga kursi.
Namun menurut Lucius, penentuan jumlah kursi DPR untuk satu provinsi juga perlu mempertimbangkan jumlah penduduk, proporsionalitas, hingga kesetaraan nilai suara di Dapil tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 185 UU Pemilu.
"Masalahnya akan muncul di kursi DPD, karena dalil DPD itu Provinsi. Jika ada provinsi baru, maka akan ada tambahan 12 kursi DPD dari ketiga provinsi itu. Dengan demikian memang ada alasan untuk mendorong perubahan terbatas pada UU Pemilu khususnya terkait Dapil dan jumlah kursi," ujar Lucius.
Kendati demikian, ia tak mendukung jika pemerintah memutuskan untuk merevisi UU Pemilu, yang mana tahapannya sudah berlangsung saat ini. Alternatif terbaik adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diterbitkan oleh presiden.
"Pilihan-pilihan bisa ditawarkan seperti dengan Perppu atau peraturan peralihan," ujar Lucius.
Dalam rapat Panja pembahasan RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Papua Pegunungan, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan upaya agar kursi DPR untuk Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Satu-satunya cara adalah merumuskan aturan atau pasal peralihan sebagai substansi baru dalam ketiga RUU tersebut.
"Kami coba merumuskan seperti ini, jadi dalam aturan peralihan sebagai substansi baru, pengisian jumlah kursi DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan penetapan daerah pemilihan sebagai akibat dibentuknya Provinsi Papua Selatan (Papua Tengah dan Papua Pegunungan) diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pemilu," ujar pria yang akrab disapa Eddy itu.
"Artinya dengan ketentuan ini yang mulia, memerintahkan kepada pemerintah dan DPR untuk mau tidak mau merevisi Undang-Undang Pemilu," sambungnya.