REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan bupati/wali kota, dan gubernur yang dipilih secara langsung membawa konsekuensi buruk bagi kepala daerah dan wakilnya. Kementerian Dalam (Kemendagri) mencatat sebanyak 93,85 pasangan kepala daerah dan wakilnya bercerai menjelang pemilukada periode kedua.
Juru Bicara Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengatakan, pada 2010 dilaksanakan 244 pemilihan bupati/wali kota, dan gubernur di seluruh Indonesia. Adapun pada 2011, dilaksanakan 67 pemilihan kepala daerah. "Hanya 6,15 persen dari mereka yang bersatu maju lagi. Sebagian besar pecah kongsi," kata Reydonnyzar kepada Republika, Ahad (25/12).
Menurut dia, kebanyakan perpecahan pasangan kepala daerah itu lantaran pada awalnya mereka dipaksakan untuk maju bersama. Meski tidak menemukan kecocokan, kata Reydonnyzar, keduanya memaksakan diri bergandengan tangan akibat koalisi partai.
Dampaknya ketika terpilih kemesraan keduanya hanya sampai pada tahun pertama. Sisa pemerintahan selanjutnya mudah didapati pasangan kepala daerah dengan wakilnya tidak akur.
Reydonnyzar mencontohkan kasus terbaru menimpa Diky Chandra dan Prijanto yang keduanya mundur dari wakil bupati Garut dan wakil gubernur DKI. Keduanya, imbuh dia, merasa tidak sejalan dengan rekannya, sebab bisa jadi tidak dianggap dalam pemerintahan atau diberi peran kecil sehingga tidak nyaman. "Inilah fenomena kemesraan cepat berlalu gara-gara pemilukada langsung," ujarnya.