REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM - Jangan remehkan pedagang kaki lima. Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, M Nur Rahmat mengatakan, omzet anggotanya yang berjumlah sekitar 1.000 orang mencapai Rp 9 miliar per bulan. Karena itu, mereka perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, katanya di Mataram, Jumat.
"Di Kota Mataram ada 1.000 pedagang kaki lima (PKL) dengan omzet per hari Rp 300 ribu atau Rp 9 juta per bulan. Berarti uang yang berputar di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) setiap bulan mencapai Rp 9 miliar," katanya.
Jika dihitung juga dengan seluruh PKL di NTB, yang jumlahnya sekitar 65 ribu orang, kata dia, uang yang berputar di NTB, hanya dari kalangan PKL, bisa mencapai ratusan miliar rupiah per bulan.
Oleh sebab itu, Rahmat meminta Gubernur NTB dan seluruh bupati serta wali kota untuk membuka mata dan membuka hati tentang keberadaan PKL yang memiliki bukti nyata ikut berperan dalam menggerakkan roda perekonomian daerah tanpa harus menunggu bantuan permodalan dari pemerintah.
"Bersyukurlah pemerintah karena rakyat kecil mau hidup mandiri tanpa ketergantungan dari pemerintah. Jangan hanya karena kelihatan tidak sedap dipandang mata para pejabat, PKL mau digusur seenaknya," tegasnya.
Ia menyatakan kecewa dengan cara-cara penertiban lapak-lapak milik PKL yang dilakukan oleh satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) baik dari Pemerintah Provinsi NTB maupun kabupaten/kota yang tanpa ada kordinasi dengan APKLI sebagai lembaga yang menaungi PKL.
Pemerintah daerah di NTB, sepertinya hanya mementingkan keberhasilan programnya tanpa memikirkan nasib rakyat yang hanya sekedar berjualan kecil-kecilan untuk mempertahankan hidup dan membiayai keluarganya.
Hal yang paling kontras, menurut Rahmat, adalah ketika pemerintah mewacanakan program penanggulangan kemiskinan, sementara di satu sisi pemerintah memiskinkan rakyatnya dengan melakukan penggusuran PKL di sejumlah daerah.
"Jangan berbicara penurunan angka pengangguran kalau pemerintah meniadakan lapangan kerja buat rakyat kecil yang memiliki pendidikan paling tinggi SMP atau sederajat," katanya.
Ia berharap pemerintah daerah di NTB tidak memandang PKL dari sudut pandang program pemerintah sesaat tetapi juga dari sudut pandang potensi sosial budaya, psikologi, pariwisata, ekonomi dan politik.
Pemerintah pusat melalui tiga menteri yaitu Menteri Perindustrian, Menteri Koperasi dan Usaha, Kecil Menengah (UKM) dan Menteri Dalam Negeri, telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai regulasi terkait program penataan PKL yang dikaitkan dengan penguatan ekonomi sektor informal.
Meskipun demikian, lanjutnya, Pemerintah Daerah di NTB, sepertinya masih menutup mata dengan keberadaan SKB tiga menteri tersebut. Hal itu dibuktikan dengan surat edaran tentang penertiban PKL yang berjualan di sekitar area satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lingkup Pemerintah Provinsi NTB.
"Saya melihat Pemerintah Provinsi NTB tidak mampu melihat potensi PKL yang menyerap ribuan tenaga kerja sehingga ketika program sesaat yang diwacanakan digulirkan, akan membawa dampak bagi rakyat kecil khususnya PKL," kata Rahmat.