REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Situasi di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) terus memanas. Terakhir, massa sekitar 10 ribu orang melakukan unjuk rasa yang berujung pada pembakaran kantor Bupati dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bima pada Jumat (27/1) lalu. Ternyata serangkaian kerusuhan di Bima diawali dengan perselisihan politik.
"Rangkaian kerusuhan di Bima diawali setelah selesai pengumuman pemungutan suara Pemilukada di NTB pada 2010 itu ada pembakaran kantor DPC Golkar. Kemudian setelah itu ada pembakaran kantor Kecamatan Lambu, Bima, NTB," kata Kepala Polda NTB, Brigjen Arief Wachyunadi yang ditemui di DPR, Jakarta, Rabu (1/2).
Arief memaparkan setelah adanya pembakaran kantor Kecamatan Lambu, disusul dengan pembakaran yang terjadi di daerah eksplorasi pertambangan milik PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Parado, Bima. Kemudian terjadilah aksi pemblokiran di Pelabuhan Sape, Bima pada 24 Desember 2011 dan terkahir aksi unjuk rasa sebanyak 10 ribu orang pada Jumat (27/1) lalu.
Beberapa aksi massa di Bima ini, ia melanjutkan, merupakan satu rangkaian dengan tuntutan yang sama yaitu pencabutan Surat Keputusan 118 tentang pencabutan izin pertambangan PT SMN. SK 118 ini sendiri sudah dicabut Pemkab Bima pada Sabtu (28/1).
Tuntutan lainnya, massa juga menuntut untuk membebaskan sekitar 50 warga yang menjadi tersangka dan ditahan di Rutan Raba, Bima, terkait dengan beberapa aksi massa di Bima. "Masyarakat minta supaya (tahanan) dilepaskan, itu tidak bisa. Bagaimana pun tindak pidana akan tetap diproses secara pidana," katanya menegaskan.