REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Program Manager Natural Resource & Economic Governance Transparency International Indonesia (TII), Ferdian Yazid, mengapresiasi gerak cepat Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam kasus Garuda. Namun harusnya kasus ini bisa dibongkar lebih jauh, dan tidak hanya berhenti di tersangka Emirsyah Satar (ES) dan Soetikno Soedarjo (SS).
"Harusnya tidak hanya (berhenti) di ES dan SS, apalagi keduanya sudah menjadi terpidana dalam kasus lain,” kata Ferdian, Kamis (7/7/2022) malam.
Kasus Garuda, kata Ferdian, harusna bisa juga dibongkar seperti kasus minyak goreng. “Menjerat siapa saja pihak lobies, atau pihak perantara lainnya yang terlibat kasus ini,” ungkapnya. Selain ES dan SS, Kejakgung juga menetapkan Setijo Awibowo (SA), Agus Wahjudo (AW) dan Albert Burhan (AB) sebagai tersangka kasus Garuda.
Ferdian mengapresiasi Kejakgung yang bisa bergerak cepat dalam menangani kasus Garuda. “Yang jelas KPK ketinggalan, mungkin KPK perlu instropeksi karena ada problem internal,” kata dia.
Dalam kasus Garuda, kata Ferdian, Kejakgung menjeratnya tidak hanya pasal 2 dan 3 terkait kerugian negara. Tapi juga bisa dilihat lagi bagaimana dalam kontruksi hukumnya terkait tindak pidana suap yang terjadi. “Selain keuangan negara juga konstruksi hukumnya diperkuat sehingga bisa meyakinkan hakim di pengadilan tentang runutan peristiwa hukumnya,” paparnya.
Jika korupsinya lintas negara, kata Ferdian, juga harus diusut. Dijelaskannya, jika memang korupsi Garuda melibatkan lintas negara, maka TII akan mendorong penerapan Mutual Legal Assistance (MLA).
Ferdian berharap dari para tersangka ini ada yang mau membongkar kasus Garuda. Menurutnya, mereka seharusnya sudah tidak adahambatan psikologis karena sudah terkena di kasus Garuda sebelumnya.
Dalam kasus dugaan korupsi Garuda yang dilaporkan Menteri BUMN Erick Thohir ke Kejakgung, sebenarnya merupakan kasus yang sudah lama. Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) sudah pernah melaporkannya ke KPK. Pelaporan dilakukan pada Desember 2010, atau pada masa pemerintahan presiden SBY.
Namun hingga Oktober 2011, pelaporan belum ditindaklanjuti, Sehinggga Sekarga pada saat itu melapor ke Komite Etik KPK. "Hari ini kesekian kali kami datang ke KPK. Kali ini kami menemui Komite Etik KPK karena kami melihat laporan kami dari tahun 2006 itu tidak ada progressnya," kata Tommy Tampatty, pada saat itu.