REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Ma’ruf, Pegiat Anti Korupsi
Prahara hukum kini sedang menerpa Bendahara Umum PBNU periode 2022-2027, Mardani H Maming, terkait dengan perpanjangan dan penerbitan Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Padahal selama Maming menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu tidak pernah mendapat sorotan berita miring, sehingga munculnya dugaan kasus korupsi yang telah Ketum BPP HIPMI periode 2019-2022 ini meninggalkan satu pertanyaan esensial, yaitu apakah Maming betul-betul terlibat dalam kasus IUP atau justru ada motif tertentu di balik kasus ini?
Mengapa pertanyaan ini penting dikemukakan, sebab dari awal beberapa pihak menilai ada upaya kriminalisasi. Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menduga kalau ada motif pengambilalihan bisnis beserta asetnya dengan cara menjadikannya korban kriminalisasi. Karenanya, kasus yang sedang menerpa Maming tidak dapat dipahami secara parsial, melainkan harus imparsial agar penilai terhadap kasus ini jadi jelas dan terang.
Maming sendiri kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi antirasuah. Di saat yang sama, dia juga dilarang untuk bepergian ke luar negeri. Kendati demikian, status tersangka itu telah dipraperadilankan di PN Jakarta Selatan. Langkah ini bukan semata-mata bentuk perlawanan atas keputusan KPK, melainkan suatu upaya untuk memastikan sah atau tidaknya penetapan tersangka atas dirinya.
Sebagai warga negara yang taat hukum, mantan bupati Tanah Bumbu ini menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Tetapi jangan lupa, kalau seorang warga negara, juga memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Artinya, praperadilan yang dilakukan Maming melalui kuasa hukumnya, dapat dipahami dalam konteks mencari keadilan.
Problem Hukum
Penilaian Denny Indrayana yang menduga ada motif tertentu di balik kasus hukum Mardani Maming bisa dijadikan pijakan untuk menilai proses hukum yang sedang berlangsung. Selaku kuasa hukum, dalam sidang praperadilan, Denny mengungkap adanya kejanggalan.
Menurutnya, KPK selaku pihak termohon, sering menerapkan pasal yang berbeda-beda dalam penanganan perkara dugaan korupsi IUP yang menjerat kliennya, Maming. Dari beberapa dokumen hukum, lanjut Denny, di satu sisi komisi antirasuah menggunakan empat pasal, sedangkan pada dokumen hukum lainnya justru bertambah jadi enam pasal.
Perubahan pasal yang dimaksud di sini termuat dalam surat pencegahan ke luar negeri dan surat pemberitahuan dimulai penyidikan (SPDP). Perubahan ini memiliki konsekuensi bagi Maming, karena tidak ada kepastian hukum, serta melanggar asas akuntabilitas dan asas-asas hukum lainnya.
Di tengah kondisi ketidakpastian hukum, tentu Maming akan kesulitan untuk mempersiapkan pembelaan atas dirinya pada kasus ini. Maka tepat kalau muncul penilaian yang menyebut penerapan pasal yang berbeda-beda dalam kasus Maming ini merupakan bentuk pelanggaran yang berimplikasi terhadap tercederanya hak seorang tersangka: jaminan, perlindungan dan proses hukum yang adil dan berkepastian hukum.
Karena itu, kasus hukum yang menjerat Mardani, seperti telah ditegaskan di awal, cenderung problematik. Mengingat rekam jejak Maming selama menjabat sebagai Bupati, hampir tidak ada berita miring yang menerpanya. Sehingga menduga adanya motif tertentu di balik kasus ini adalah konsekuensi dari rekam jejak Maming yang dikenal bersih!