Kamis 28 Jul 2022 14:50 WIB

KontraS Beberkan Kejanggalan Seleksi Hakim Ad Hoc HAM

Jumlah minimal 12 orang hakim ad hoc bisa dipenuhi dengan cara seleksi lanjutan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Kordinator KontraS  Fatia Maulidiyanti bersama perwakilan koalisi masyarakat sipil Bersihkan Indonesia memberikan keterangan pers di Kantor KontraS, Jakarta, Rabu (23/3/2022). KontraS bersama perwakilan masyarakat sipil Bersihkan Indonesia menyatakan sikap atas penetapan tersangka terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kordinator KontraS Fatia Maulidiyanti bersama perwakilan koalisi masyarakat sipil Bersihkan Indonesia memberikan keterangan pers di Kantor KontraS, Jakarta, Rabu (23/3/2022). KontraS bersama perwakilan masyarakat sipil Bersihkan Indonesia menyatakan sikap atas penetapan tersangka terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KontraS membeberkan kejanggalan dalam pengumuman delapan hakim ad hoc Pengadilan HAM. KontraS khawatir kejanggalan itu berpotensi membuat jalannya pengadilan HAM untuk peristiwa Paniai 2014 tidak berjalan dengan optimal.

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menyebut kejanggalan sudah dapat terlihat pada penundaan waktu pengumuman hakim ad hoc HAM terpilih yang semula akan disampaikan pada Jumat (22/7/2022) menjadi Senin (25/7/2022). Kemudian, adanya perbedaan pengumuman jumlah peserta yang dinyatakan lulus seleksi di tiap tingkatan pengadilan yakni untuk tingkat pertama dan banding.

Baca Juga

"Masing-masing tingkat diisi oleh empat nama hakim, padahal semula Ketua Panitia Seleksi sekaligus Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Dr Andi Samsan Nganro, menyatakan dalam keterangannya kepada media bahwa akan ada 12 hakim yang direkrut," kata Fatia dalam keterangan yang dikutip Republika.co.id pada Kamis (28/7/2022).

Fatia mengaku mendapat informasi panitia seleksi berargumen pendeknya waktu menuju Pengadilan HAM Paniai 2014 di tingkat pertama mendasari keputusan tersebut. Padahal KontraS menyimpulkan hanya dua nama yang memenuhi kualifikasi hakim ad hoc HAM berkaca pada hasil pemantauan langsung di proses wawancara.

"Kualifikasi yang kami maksud adalah mengenai pengetahuan para peserta seleksi mengenai unsur pelanggaran HAM berat dan konsep rantai komando serta pemahaman mereka mengenai hukum acara pengadilan HAM," ujar Fatia.

Selain itu, KontraS mengingatkan pentingnya kualitas hakim ad hoc HAM karena masa jabatan dimungkinkan mencapai 10 tahun sebagaimana Pasal 28 ayat 3 UU 26/2000. Sebab ada potensi pengadilan HAM tak hanya menyidangkan peristiwa Paniai saja. "Para hakim terpilih akan bertugas terhadap pelanggaran HAM berat lainnya yang akan diajukan oleh Kejaksaan Agung," tutur Fatia.

Oleh karena itu, KontraS memandang kebutuhan hakim ad hoc HAM yang berkualitas dengan jumlah minimal 12 orang bisa dipenuhi dengan cara seleksi lanjutan. Khususnya memperhatikan waktu yang tak hanya berpaku pada sidang Paniai dalam waktu dekat. Sebab situasi yang dihadapi MA dan panitia seleksi kali ini, menurut KontraS menunjukkan ketergesaan hingga proses pencarian hakim ad hoc HAM tidak berjalan secara maksimal.

"Kondisi ini buah dari lambatnya respons Mahkamah Agung yang tidak segera menindaklanjuti pengumuman tindak penyidikan Peristiwa Paniai 2014 yang sudah diumumkan oleh Kejaksaan Agung sejak Desember 2021. Pengumuman rekrutmen hakim ad hoc pengadilan HAM baru dilansir oleh Mahkamah Agung pada 20 Juni 2022," tegas Fatia.

Diketahui, para hakim ad hoc HAM terpilih akan menyidangkan kasus Paniai Berdarah pada Agustus 2022 di Pengadilan Makassar. Dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini, penyidik pada Jampidsus, menetapkan IS sebagai tersangka tunggal, Jumat (1/4/2022). IS adalah anggota militer yang menjabat sebagai perwira penghubung saat peristiwa Paniai Berdarah terjadi 2014 lalu.

Tersangka IS dituding bertanggungjawab atas jatuhnya empat korban meninggal dunia, dan 21 orang lainnya luka-luka dalam peristiwa demonstrasi di Paniai. Mengacu rilis resmi, tim penyidik, menjerat IS dengan sangkaan Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU 26/200 tentang Pengadilan HAM.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement