REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah menilai, langkah Indonesia sudah tepat dalam mengusulkan pengaturan program kapal selam bertenaga nuklir di PBB. "Indonesia paper" bertujuan mengisi kekosongan aturan hukum internasional terkait kapal selam bertenaga nuklir.
"Usulan Indonesia sudah tepat. Karena beberapa negara besar dan sekutu mereka telah melakukan program pengadaan Kapal Selam Bersenjata Nuklir, termasuk melakukan berbagai program pelatihan," ujar Rezasyah kepada Republika.co.id, Senin (1/8/2022).
Menurutnya, keadaan ini berpotensi menciptakan pacu senjata model baru, yang aturannya belum ada sehingga sangat membahayakan perdamaian dan keamanan dunia. "Kapal Selam Bersenjata Nuklir itu sendiri memiliki potensi bermasalah di bawah laut, termasuk menjadi sasaran serangan pihak lawan," katanya.
Rezasyah mengharapkan, usulan Indonesia ini hendaknya didukung negara-negara penandatangan Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir. Seperti Treaty of Tlatelolco di Amerika Latin, dan Treaty of Rarotonga di Pasifik Selatan.
"Indonesia harus bekerja sama dengan wilayah yang sudah menerapkan aturan bebas nuklir, seperti di Pasifik Selatan dan Amerika Latin," katanya.
Jika berandai Australia memiliki kapal selam bertenaga nuklir, maka wilayah Indonesia timur akan menjadi wilayah yang kritis. Namun demikian, ia tidak menilai adanya ancaman ke Indonesia jika Australia memiliki kapal selam bertenaga nuklir atas kerja sama dari aliansi AUKUS.
"Walaupun kelak Australia akan memiliki Kapal Selam jenis ini, diperkirakan tidak akan mengancam Indonesia. Karena AUKUS tidak menganggap mereka sebagai ancaman," tuturnya.
PBB menggelar konferensi tentang peninjauan Nuclear Non-Proliferation Treaty/Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dari 1-26 Agustus 2022. NPT ditandatangani oleh 191 negara PBB, terutama negara-negara pemilik senjata nuklir dan negara yang tidak mempunyai senjata nuklir. NPT memiliki tiga tujuan, yakni perlucutan senjata nuklir, non-proliferasi senjata nuklir, dan penggunaan energi nuklir untuk kepentingan damai.
Konferensi Peninjauan terhadap NPT digelar setiap lima tahun sekali sejak 1975. "Indonesia paper" atau proposal yang diusulkan Indonesia disampaikan dalam 10th Review Conference of the Parties to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT RevCon) dalam bentuk kertas kerja berjudul "Nuclear Naval Propulsion".
Tujuan utama usulan ini untuk mengisi kekosongan aturan hukum internasional terkait kapal selam bertenaga nuklir, membangun kesadaran atas potensi risikonya, serta upaya menyelamatkan nyawa manusia dan kemanusiaan.