REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar media sosial (medsos) sekaligus pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkapkan masifnya respons negatif terhadap pernyataan Edy Mulyadi soal "Jin Buang Anak" yang beredar di medsos. Ia mengamati jumlah respons negatif mengalami kenaikan sepekan usai video Edy mencuat.
Ismail memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus "Jin Buang Anak" di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Selasa (2/8/2022). Ismail mendasari keterangannya lewat Social Network Analysis (Analys).
"Kasus Edy ini mendapatkan respons yang paling tinggi negatif dari pakat Dayak. Sehingga ia mendapatkan 876 retweet. Itu ajakan untuk turun ke jalan," kata Ismail dalam sidang tersebut.
Ismail memperkirakan pernyataan Edy berpotensi menimbulkan keonaran di medsos hingga di dunia nyata. "Makanya di sini dibandingkan dengan yang lain (isu lain), paling tinggi potensi untuk kemudian timbul keonaran digital, kemudian keonaran di lapangan, dikhawatirkan agak tinggi," lanjut Ismail.
Ismail menjelaskan, periode paling tinggi video Edy dibagikan oleh banyak orang pada 19 Januari 2022. Adapun, videonya sudah berseliweran di medsos sejak 17 Januari 2022 Januari.
Tercatat, video Edy memperoleh puncak respons kontra pada 24 Januari. Ia menemukan sekitar 31 ribu percakapan soal Edy Mulyadi di dunia maya sepanjang periode itu.
"Kalau kita lihat dari data, 17 januari video (diunggah Edy), 18 mulai share di Twitter. Puncaknya share yang dukung video tadi tanggal 19 Januari ada 1.500-an percakapan tentang Edy Mulyadi. Tapi lama-lama mendapatkan kontra dan kontranya paling tinggi tanggal 24 Januari. Hingga 31 ribuan percakapan," ungkap Ismail.
Pada perkara ini, Edy didakwa menyebarkan berita bohong alias hoaks. Pernyataan Edy diangggap bisa memantik keonaran di tengah masyarakat.
Sehingga, JPU mendakwa Edy Mulyadi melanggar Pasal 14 ayat (1) UU RI No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana subsider Pasal 14 ayat (2) UU RI No 1/1946 atau kedua Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU RI No 19/2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Ketiga Pasal 156 KUHP.
Diketahui, eks calon legislatif itu ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri pada akhir Januari 2022. Kasus yang menjerat Edy bermula dari pernyataannya soal lokasi Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan yang disebut tempat jin buang anak. Pernyataan Edy sontak memancing reaksi keras sebagian warga Kalimatan.