REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Sejak pengambilalihan Taliban, diberlakukan sejumlah pembatasan pada kebebasan perempuan. Di antaranya adalah hilangnya perempuan di angkatan kerja Afghanistan.
Bagi Masuda Samar (43 tahun), kondisi ini menjadi pukulan dalam hidupnya. Kerap kali dia menunggu di gerbang kementerian, tempat dia dulu bekerja dengan harapan bisa bekerja lagi.
Beberapa bulan lalu, dia mengaku menerima telepon dari Departemen Sumber Daya Manusia. Orang itu meminta Samar untuk mengenalkan anggota keluarga laki-laki mengisi posisinya. Sejak perempuan tidak lagi bekerja, beban pekerjaan meningkat.
“Saya bekerja keras untuk naik peringkat dan mendapatkan posisi ini meskipun ada tantangan berat. Mengapa saya harus menyerahkan pekerjaan saya kepada suami dan saudara laki-laki saya?” kata Samar.
Sejumlah organisasi di sektor swasta telah mengurangi staf perempuan karena krisis keuangan, paksaan Taliban, atau pencegahan agar terhindar dari kemarahan Taliban. Sebuah studi oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun ini mendokumentasikan penurunan yang tidak proporsional dalam pekerjaan perempuan di Afghanistan sebanyak 16 persen dalam beberapa bulan segera setelah pengambilalihan Taliban.
“Dalam skenario pesimis di mana pembatasan semakin intensif dan perempuan tidak merasa mereka dapat muncul dengan aman di tempat kerja mereka, skala kehilangan pekerjaan bagi perempuan bisa mencapai 28 persen,” kata laporan itu.
Sebelum pengambilalihan Taliban, 22 persen dari angkatan kerja Afghanistan adalah perempuan. Meskipun angkanya masih suram, ini mencerminkan kemajuan sosial selama bertahun-tahun dalam masyarakat yang sangat patriarkal dan konservatif.
“Partisipasi angkatan kerja perempuan di Afghanistan telah meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir,” kata ekonom Afghanistan Saeda Najafizada.
Sayangnya, perempuan yang bekerja di Afghanistan juga rentan terhadap guncangan pengangguran karena krisis ekonomi, pembatasan gerakan perempuan oleh Taliban, dan patriarki.
“Perempuan memiliki sedikit kekuatan untuk membuat keputusan mereka di Afghanistan. Bahkan, keputusan yang dibuat sendiri, dalam banyak kasus, sangat dipengaruhi oleh norma-norma masyarakat,” ucap dia.
Sementara ekonomi Afghanistan sangat menderita karena sanksi Barat terhadap Taliban, bisnis yang berpusat pada perempuan terkena dampak buruk karena pembatasan tambahan pada perempuan.
Survei Bank Dunia belum lama ini mencatat 42 persen bisnis milik perempuan di Afghanistan telah ditutup sementara dibandingkan dengan 26 persen bisnis milik laki-laki.
Selain itu, sekitar 83 persen pengusaha wanita mengindikasikan kerugian pendapatan selama enam bulan ke depan. Ini memaksa mereka untuk terlibat dalam mekanisme penanggulangan seperti perampingan staf mereka yang sering kali terdiri dari perempuan.
Dilansir Aljazirah, Kamis (11/8/2022), absennya perempuan dalam dunia kerja juga dirasakan oleh rekan kerja laki-lakinya. Supervisor di sebuah agen di Kabul, Ghafoor, mengatakan, para pekerja perempuan di departemennya termasuk pekerja yang paling profesional.
“Saya tidak memiliki keluhan terhadap mereka karena mereka memberikan yang terbaik,” ujar dia. Sejak tahun pengambilalihan Taliban, tidak ada perempuan di departemennya yang diizinkan bekerja.
“Ada kalanya kami bekerja 12-14 jam untuk menyelesaikan tugas tetapi masih belum dapat mencapai tujuan kami. Ini memengaruhi produktivitas kami secara keseluruhan,” tambahnya.
Sumber: aljazeera