REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengecam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Vikaris atau Calon Pendeta di Nusa Tenggara Timur (NTT) kepada enam orang korban anak. Para korban merupakan siswa yang bersekolah minggu di gereja setempat.
Pelaku yang berusia 35 tahun melakukan dugaan pemerkosaan kepada anak-anak tersebut di Alor, NTT. "Tokoh agama seharusnya mampu memberikan contoh yang baik kepada jamaahnya, khususnya kepada anak-anak. Karena kekerasan seksual yang dilakukan mampu menyebabkan trauma pada anak-anak dan berpengaruh terhadap masa depan mereka," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar dalam keterangan pers pada Rabu (7/9/2022).
KemenPPPA memastikan perlindungan terhadap korban terlaksana dengan baik, di antaranya akan memberikan asesmen dan pendampingan psikologis terhadap korban. Korban yang merupakan pelajar SMP dan SMA saat ini sudah diberikan jaminan keamanan proses belajar mengajar oleh sekolah.
"Karena saat ini kondisi korban secara fisik sehat, namun secara psikologis masih mengalami trauma. KemenPPPA juga akan mengawal antisipasi penyebaran video pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh terduga pelaku terhadap korban," kata Nahar.
Nahar mendorong Polres Kabupaten Alor menindaklanjuti kasus sesuai dengan ketentuan UU Perlindungan Anak. Hal itu dilakukan guna memastikan tidak ada lagi korban yang belum terungkap dan tidak mendapatkan pendampingan.
"Saat ini terduga pelaku kasus pemerkosaan terhadap 6 orang korban anak telah ditangkap dan menjalani proses hukum," ujar Nahar.
Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Calon Pendeta di Kabupaten Alor dilaporkan oleh Pendeta Gereja ke polisi pada 1 September 2022. Korban awalnya berjumlah 9 orang, dua diantaranya mengalami percobaan pencabulan dan mendapat pesan singkat yang tidak senonoh disertai foto telanjang.
"Berdasarkan hasil pengakuan korban, kasus kekerasan seksual tersebut telah berlangsung sejak Mei 2021 hingga Maret 2022," kata Nahar.