REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —Pakar Hukum Tata Negara dan Dosen STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengingatkan kemungkinan adanya hidden agenda di balik rancangan peraturan presiden (Perpres) tentang Dewan Keamanan Nasional (DKN), dengan intensi yang khusus.
"Pembentukan DKN akan membuka ruang terjadinya pendekatan militeristik seperti terjadi di masa lalu,” kata Bivitri dalam siaran pers, Senin (19/9/2022).
Hal ini disampaikan Bivitri dalam diskusi publik "Quo Vadis Pembentukan Dewan Keamanan Nasional”. Kegiatan ini diselenggarakan Imparsial dan Centra Initiative, Senin (19 /9/2022).
Menurut Bivitri pembentukan DKN ini akan membuka tata kelola pertahanan keamanan seperti di masa lalu dengan model yang berbeda tetapi tetap berbahaya. Rancangan Perpres DKN, menurutnya, perlu ditolak, seperti dulu menolak pembahasan DKN ketika dibahas melalui RUU Kamnas. "Rancangan Perpres ini bermasalah secara hukum,” ungkapnya.
Rancanagnan Pepres DKN, kata Bivitri, ini tidak ada cantelan hukumnya. Dengan kata lain, tidak ada undang undang di sektor pertahanan keamanan, seperti UU TINI, UU Pertahanan, UU Polri, yang memerintahkan agar pemerintah membentuk DKN.
“Karena itu tidak ada landasan hukum yang kuat selevel undang undang untuk membentuk DKN sehingga membentuk DKN melalui peraturan presiden keliru dan tidak tepat,” ungkapnya.
Rancangan Perpres DKN, dikhawatirkan akan menimbulkan kerumitan tata kelola pertahanan dan keamanan. Hal ini karena definisi keamanan nasional dalam rancangan perpres ini luas dan menggabungkan fungsi pertahanan dan keamanan, yakni menggabungkan TNI dan Polri kembali di bawah DKN. Hal ini tidak sejalan dengan agenda demokrasi yang mengharuskan pemisahan TNI dan Polri.
DKN akan meninbulkan tumpang tinding fungsi dengan kelembagaan lain yakni dengan menkopolhukam, lemhamnas, wantimpres dan lain lain.