REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sembilan mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk di antaranya tiga mantan Ketua MK, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto. Sebab, pencopotan Aswanto oleh DPR inkonstitusional.
"Kita menyarankan melalui Pak Mahfud agar Presiden tidak usah dulu menandatangani Keppres tentang pemberhentian (Aswanto) karena pencopotanya melanggar konstitusi," kata mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan kepada wartawan di kantor MK, Jakarta, Sabtu (1/10/2022).
Usulan tersebut merupakan hasil pertemuan sembilan mantan hakim konstitusi dengan Sekretaris Jenderal MK Muhammad Guntur Hamzah di Kantor MK, Jakarta, Sabtu siang. Terdapat empat mantan hakim konstitusi yang hadir secara fisik dalam pertemuan itu, yakni mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva, Maruarar Siahaan, serta mantan Ketua MK Mahfud MD yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Pertemuan itu digelar untuk merespons keputusan DPR RI mencopot Hakim Konstitusi Aswanto dalam Rapat Paripurna, Kamis (29/9). Padahal, jabatan Aswanto baru akan berakhir pada 2029. Sebagai ganti Aswanto, DPR menunjuk Sekretaris Jenderal MK Muhammad Guntur Hamzah.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, Mahfud MD setuju dengan kesimpulan pertemuan tersebut bahwa pencopotan Aswanto inkonstitusional. Mahfud disebut bakal menindaklanjuti hasil pertemuan itu.
"Dia (Mahfud) akan membicarakan (inkonstitusionalitas pencopotan Aswanto) di level pemerintah karena ini masalah serius," kata Jimly. Menurut Jimly, apabila Presiden Jokowi sudah mengetahui bahwa pencopotan itu inkonstitusional, pasti dia tidak akan menerbitkan Keppres.
Terabas UUD 1945
Jimly menjelaskan, pencopotan Aswanto inkonstitusional karena UUD 1945 tidak memberikan DPR kewenangan untuk mencopot hakim konstitusi. UUD 1945 hanya memberikan otoritas kepada DPR untuk mengajukan hakim konstitusi baru. "Jadi kesimpulan kami pertama, ini (pencopotan Aswanto oleh DPR) jelas melanggar UUD 1945," kata Jimly.
Selain melanggar UUD, kata dia, pencopotan itu juga menabrak UU MK, tepatnya Pasal 23 ayat 4. "Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi," demikian bunyi pasal tersebut.
Adapun ketika DPR melakukan pencopotan, ujar Jimly, MK belum menyerahkan surat permohonan pemberhentian Aswanto kepada Presiden. Lantaran tidak ada pemberhentian, tentu tidak ada kekosongan jabatan hakim konstitusi.
Karena itu pula, kata dia, MK tidak pernah mengirim surat permohonan pengisian hakim konstitusi baru ke DPR. Oleh karenanya, DPR tidak punya dasar untuk menunjuk hakim konstitusi baru pengganti Aswanto.
Mantan Ketua MK lainnya, Hamdan Zoelva menambahkan, pencopotan Aswanto oleh DPR tidak hanya melanggar UU MK dari aspek formil, tapi juga aspek materiil. Dia mengatakan, UU MK mengatur jabatan hakim konstitusi sampai umur 70 tahun.
Jika diberhentikan sebelum usia 70 tahun, kata Hamdan, harus karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau karena pelanggaran hukum dan etik. Sejumlah syarat pemberhentian itu tidak satu pun ada pada Aswanto. "Karena itu, kami melihat, baik dari aspek prosedur maupun materil, pemberhentian itu bertentangan dengan UU MK," kata Hamdan menegaskan.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, Aswanto dicopot karena kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR. Politisi PDIP itu menilai Aswanto tidak menepati komitmennya sebagai salah satu dari tiga hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR.
"Tentu mengecewakan dong. Ya, gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia? Dia wakilnya dari DPR, kan gitu toh," kata Bambang kepada wartawan, Jumat (30/9/2022)