REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, saat ini pihaknya tak memiliki rencana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (Pilkada), agar wali kota, bupati, hingga gubernur dipilih oleh DPRD. Di samping itu, pilkada oleh DPRD juga tak menjamin bahwa politik uang atau money politics tidak terjadi.
"Apakah ada jaminan lewat DPRD tidak ada yang namanya money politic, jangan-jangan yang muncul ada oligarki juga di sana kan. Jadi money politics di situ bukan lagi put buying, tapi lebih kepada dagang sapi," ujar Saan saat dihubungi, Rabu (12/10/2022).
Ia mengatakan, pilkada langsung merupakan jawaban atas kelemahan dari pemilihan wali kota, bupati, dan gubernur yang dilakukan DPRD. Pilkada yang dilakukan langsung oleh rakyat juga merupakan hasil dari reformasi.
"Kalau kita kembali ke sana kan set back, menurut saya tinggal bagaimana pilkada langsung ini apabila dinilai ada kelemahan-kelemahan itu yang kita perbaiki bersama. Bukan berarti kita kembali ke masa lalu," ujar Saan.
Biaya politik tinggi dalam pilkada langsung yang menjadi alasan MPR juga dapat ditekan lewat komitmen partai politik. Ditambah perlunya banyak kajian terhadap wacana pilkada oleh DPRD.
"Pilkada juga dipahami sebagai bentuk kedaulatan rakyat. Nah apa yang sudah sekarang rakyat miliki, ya jangan diambil lagi lah," ujar politikus Partai Nasdem itu.
Sebelumnya, MPR menilai perlunya kajian dan evaluasi terkait demokrasi yang diterapkan saat ini. Salah satunya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik untuk bupati, wali kota, hingga gubernur.
Wakil Ketua MPR Yandri Susanto mengatakan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengusulkan Pilkada dipilih oleh DPR atau DPRD. Saat itu, ia merupakan bagian dari panitia kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
"Tapi Pak SBY pulang dari luar negeri kan mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014, dari Perppu itu lahirlah tetap pemilu langsung, pilkada langsung. Lahirlah Undang Undang Nomor 10 tahun 2016," ujar Yandri di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/10/2022).
"Mempertegas bahwa tidak ada perubahan," sambungnya.
Menurutnya, pemilihan kepada daerah oleh DPR dan DPRD perlu dikaji kembali. Pasalnya, ada sistem demokrasi saat ini yang membuat biaya politik menjadi tinggi dan berdampak pada lahirnya tindakan korupsi.
"Disertasi Pak Gamawan (Fauzi, mantan Menteri Dalam Negeri) tentang perlunya kembali ke sistem pemilihan (oleh) DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Jadi menurut kami ini yang perlu dikaji, jangan sampai membuat UUD berdasarkan kepentingan, itu tidak boleh," ujar Yandri.