REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, total kasus gagal ginjal akut hingga hari ini telah mencapai 245 anak yang tersebar di 26 provinsi. Persentase angka kematian kasus ini pun cukup tinggi, yakni mencapai 141 kasus atau sebesar 57,6 persen.
"Saya update sedikit, per hari ini, kasus totalnya 245 anak di 26 provinsi. Delapan provinsi yang berkontribusi 80 persen kasus adalah DKI Jakarta, Jabar, Aceh, Jatim, Sumbar, Bali, Banten, dan Sumut. Fatality rate persentasenya cukup tinggi, yakni 141 atau 57,6 persen," ujar Budi usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022).
Ia menjelaskan, kasus ini mulai mengalami kenaikan pada Agustus, lalu. Sebelum Agustus, angka kematian dari penyakit ini tercatat normal dari tahun ke tahun, yakni di bawah 5 kasus.
Namun, kemudian jumlah kasus kematian akibat penyakit ini mulai mengalami kenaikan pada Agustus menjadi 36 kasus. Kemudian September naik menjadi 78 kasus, dan Oktober hingga saat ini menjadi 141 kasus.
"Sejak Agustus kita amati, Kemenkes sudah melakukan review patologi. Jadi, kita lakukan lab patologi karena dugaan kita pada September itu penyebabnya virus, bakteri, atau parasit. Jadi balik lagi kasus ini teridentifikasi di Agustus, bukan di awal tahun," jelasnya.
Kemudian, pada September kembali dilakukan tes patologi dari anak-anak yang terkena penyakit ini untuk melihat apakah ada virus, bakteri, atau parasit yang menjadi penyebab kasus ini. Namun hasilnya sangat kecil sekali penyakit gagal ginjal akut disebabkan oleh virus atau bakteri.
"Misalnya ada bakteri leptospira, ini bisa menyebabkan sakit ginjal. Kita cek semua anak yang kena, ternyata 0 persen. Kemudian kita kira ini gara-gara Covid, kita cek semua anak yang kena, dan kurang dari 1 persen yang ada Covid, positif Covid," kata dia.
Karena itu, pemerintah masih menduga-duga penyebab dari munculnya penyakit ini. Sebab, hasil tes patologi tidak signifikan disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit.
Menurutnya, pemerintah baru mendapatkan titik terang ketika WHO mengeluarkan surat edaran dan peringatan terkait kasus mirip yang terjadi di Gambia. Penyebab kasus itu yakni zat kimia yang ada di pelarut obat-obatan.
Setelah itu, pemerintah berkomunikasi dengan WHO dan juga Pemerintah Gambia untuk melakukan analisa toksikologi. Hasil pengetesan terhadap 10 anak, 7 di antaranya mengandung zat kimia tersebut. Menkes pun mengatakan, 70 persen anak-anak yang menderita penyakit itu disebabkan oleh zat kimia tersebut.
"Kita lakukan konfirmasi kedua dengan biopsi pada korban meninggal. Apakah ada ciri-ciri kerusakan ginjal yang disebabkan zat kimia ini. Kita cek, 100 persen memang terjadi kerusakan ginjal sesuai ciri-ciri yang disebabkan obat kimia ini," kata dia.
Kemudian, Kemenkes mulai mendatangi rumah tiap pasien untuk mengambil obat yang digunakan dan memastikan adanya senyawa kimia dalam obat itu. Ternyata sebagian besar obat-obatan ditemukan mengandung senyawa itu.
"Dari situ kita simpulkan penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran dari pelarut obat itu," kata Menkes.