Rabu 16 Nov 2022 16:48 WIB

Rencana tak Ada Kocok Ulang Nomor Urut Parpol untuk Pemilu 2024 yang Dinilai Diskriminatif

Partai baru menolak Perppu yang atur tidak ada kocok ulang nomor urut peserta pemilu.

Ketua Umum Partai Buruh Saiq Iqbal (tengah) bersama Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarlidan (kiri) menjabat tangan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari saat pendafataran parpol peserta Pemilu 2024 beberapa waktu lalu. Partai Buruh menolak usulan tidak ada kocok ulang nomor urut parpol peserta pemilu yang diakomodasi lewat Perppu UU Pemilu. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Ketua Umum Partai Buruh Saiq Iqbal (tengah) bersama Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarlidan (kiri) menjabat tangan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari saat pendafataran parpol peserta Pemilu 2024 beberapa waktu lalu. Partai Buruh menolak usulan tidak ada kocok ulang nomor urut parpol peserta pemilu yang diakomodasi lewat Perppu UU Pemilu. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan. A, Nawir Arsyad Akbar

 

Baca Juga

Sejumlah partai politik baru menolak rencana ketentuan pengundian nomor urut Pemilu 2024 hanya untuk partai baru, sedangkan partai lama menggunakan nomor urut pemilu sebelumnya. Mereka kompak menyatakan ketentuan itu diskriminatif. 

Ketentuan tersebut merupakan salah satu isi rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU Pemilu. Wacana mengganti ketentuan nomor urut ini pertama kali dilontarkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. 

Penolakan partai baru ini salah satunya datang dari Partai Buruh. Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, pihaknya menolak karena bakal dirugikan oleh ketentuan itu. 

"Partai lama yang diuntungkan oleh ketentuan ini karena akan lebih diingat masyarakat lantaran menggunakan nomor urut lama. Ini tidak adil bagi partai baru, apalagi masa kampanye partai baru untuk memperkenalkan diri hanya 75 hari," kata Said ketika dihubungi Republika, Rabu (16/11/2022). 

Menurutnya, semua partai, baik yang baru maupun lama, seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan asas pemilu jujur dan adil (Jurdil). Jangan ada pengistimewaan bagi partai lama. 

Dia pun meminta partai lama tidak memaksakan kehendak agar ketentuan itu masuk dalam Perppu. Apalagi, pemerintah selama ini tidak pernah meminta masukan Partai Buruh terkait ketentuan nomor urut ini.

"Partai Buruh menolak pemaksaan kehendak oleh parpol lama terhadap ketentuan nomor urut tersebut," katanya. 

Partai Ummat juga menyatakan penolakan. Wakil Ketua Umum Partai Ummat, Nazaruddin mengatakan, ketentuan nomor itu semakin menunjukkan bahwa Pemilu 2024 diskriminatif. 

"Jelas itu (ketentuan nomor urut) untuk mengakomodasi keinginan sepihak partai parlemen. Masak soal nomor urut saja partai parlemen harus mendapat privilege?" kata Nazaruddin kepada wartawan. 

Partai baru lainnya, Partai Gelora turut menentang ketentuan tersebut. "Ketentuan itu tidak fair ya. Seharusnya semua partai ikut pengundian nomor urut," ujar Wasekjen Partai Gelora Ahmad Chudori. 

Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) juga menolak dengan lantang. Wakil Ketua Umum Prima, Alif Kamal menilai, ketiadaan pengundian nomor adalah ketentuan diskriminatif dan tidak demokratis. 

"Semua parpol yang sudah ditetapkan KPU kedudukannya sama sebagai kontestan pemilu 2024 yang akan berlomba-lomba mendapat simpati rakyat. Jika wacana itu dijadikan Perppu, ini sangat diskriminatif dan tidak demokratis,” ujar Alif dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu. 

Alif melanjutkan, partai politik baru maupun nonparlemen berhak untuk memperoleh nomor urut 1 dalam pemilu 2024 mendatang. “Jadi, jangan ada diferensiasi antara parpol parlemen dan non parlemen, partai lama dan partai baru,” katanya. 

Adapun Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) memilih pasrah. Ketua Umum PKN, I Gede Pasek Suardika mengaku lebih memilih fokus mengikuti verifikasi faktual sebagai calon peserta Pemilu 2024. Sebab, tidak ada artinya PKN menolak karena penentunya tetap pemerintah bersama partai parlemen. 

"Mau memasalahkan atau tidak memasalahkan, (ketentuan nomor urut ini) akan tetap saja tergantung mereka (pemerintah dan partai parlemen). Sehingga biarlah publik yang menilainya," kata Gede Pasek kepada Republika

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement