Selasa 22 Nov 2022 17:50 WIB

LPSK Sebut Ada Dugaan Perintangan Penyidikan Kasus Gang Rape di Kemenkop UKM

Dugaan perintangan penyidikan dilakukan oknum anggota Polresta Bogor Kota.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua LSPK Edwin Partogi Pasaribu memaparkan temuan timnya terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin, di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (31/1).
Foto: Republika/Febryan A
Wakil Ketua LSPK Edwin Partogi Pasaribu memaparkan temuan timnya terkait keberadaan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin, di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (31/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengendus dugaan obstruction of justice atau perintangan penyidikan dalam kasus gang rape (pemerkosaan berkelompok) di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM). LPSK meminta Polri mendalami dugaan tersebut.

"Terdapat dugaan obstruction of justice karena ada peran aktif dari oknum anggota Polresta Bogor Kota yang mendorong terjadinya perdamaian tersebut," kata Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu dalam konferensi pers pada Selasa (22/11/2022).

Baca Juga

Atas dasar dugaan itu, LPSK merekomendasikan Polri melakukan pemeriksaan internal terhadap personel yang memfasilitasi perdamaian. LPSK memandang oknum polisi yang terlibat pantas diproses pidana jika terbukti melakukan obstruction of justice.

"LPSK juga merekomendasikan dilakukan pemeriksaan internal terkait pelanggaran proses hukum terhadap anggota kepolisian yang menangani perkara yang dimaksud, termasuk terbukanya proses pidana pelanggaran tindak pidana yang selama ini disebut obstruction of justice," ujar Edwin.

Kecurigaan Edwin soal dugaan obstruction of justice muncul karena Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus itu tidak didasari Peraturan Kapolri (Perkap) dan KUHAP. Dengan demikian, maka SP3 yang dibuat Polresta Bogor sudah dinyatakan tak berlaku lagi.

"Penghentian penyidikan perkara ini dinyatakan batal demi hukum karena keputusan penghentian penyidikan tersebut tidak pernah ada," ucap Edwin.

Edwin juga menerangkan penyelesaian kasus ini lewat restorative justice gagal memenuhi syarat Perkap Nomor 6 Tahun 2019. Pasalnya, peristiwa gang rape ini merupakan perbuatan yang meresahkan masyarakat dan perbuatannya dapat dikategorikan kejahatan berat dengan ancaman hukuman hingga sembilan tahun.

"Dalam Perkap nomor 6 tahun 2019 diatur syarat bisa dihentikan kalau penyidik belum menyampaikan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada penuntut umum, padahal SPDP sudah dikirim penyidik sejak Desember 2019," ungkap Edwin.

Tercatat pada 2019, terjadi kasus kekerasan seksual berbentuk "gang rape" di lingkup Kemenkop UKM. Kasus itu sempat dihentikan ketika penyidik mengeluarkan SP3 setelah pihak keluarga korban dan para pelaku diduga bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dengan menikahkan salah satu pelaku dengan korban. Namun itu hanyalah dalih agar para pelaku lolos dari jerat hukum.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement