Rabu 30 Nov 2022 17:55 WIB

KPU Pelajari Putusan MK Soal Syarat Mantan Napi Jadi Caleg

MK menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) didampingi hakim anggota Aswanto (kiri) membacakan putusan sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Majelis hakim konstitusi memutuskan menolak permohonan dari pemohon yakni dari Partai Keadilan Sejahtera terkait uji materiil UU Pemilu mengenai persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) didampingi hakim anggota Aswanto (kiri) membacakan putusan sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Majelis hakim konstitusi memutuskan menolak permohonan dari pemohon yakni dari Partai Keadilan Sejahtera terkait uji materiil UU Pemilu mengenai persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaku akan memelajari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan perkara syarat pencalonan mantan narapidana menjadi calon anggota legislatif. "Tanggapan saya, KPU akan mempelajari putusan MK tersebut. Kami akan konsultasikan materi putusan JR (judicial review) MK tersebut kepada pembentuk UU dalam hal ini Presiden dan DPR (Komisi II DPR)," kata Ketua KPU Hasyim Asy'ari di Jakarta Rabu (30/11/2022).

Hasyim menyebutkan di antara hal yang perlu KPU konsultasikan adalah pemberlakuan dalam peraturan KPU apakah hanya untuk calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, kabupaten, kota, atau juga termasuk calon anggota DPD RI. "Demikian tanggapan KPU," kata Hasyim Asy'ari.

Baca Juga

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana apabila dirumuskan. Pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut berbunyi tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

MK pada putusannya mengubah Pasal 240 ayat (1) huruf g menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan. Persyaratan itu, yakni: bagian i, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

Bagian ii, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.Berikutnya, bagian iii, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement