REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mantan narapidana politik boleh menjadi calon anggota legislatif (Caleg), meski sebelumnya divonis lima tahun penjara atau lebih. Sedangkan mantan narapidana kasus lainnya yang dihukum lima tahun atau lebih, tetap dilarang menjadi caleg.
Hal itu merupakan putusan MK yang dibacakan dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/11/2022). Putusan tersebut mengubah isi Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu yang semula berbunyi:
"Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana."
Ketua MK Anwar Usman mengatakan, Pasal 240 ayat 1 huruf g itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, MK membuat norma baru terhadap pasal tersebut, yakni:
"Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;"
"(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang."
Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan, bunyi Pasal 240 ayat 1 huruf g itu disamakan esensinya dengan Pasal 7 ayat 2 huruf g UU Pilkada yang telah diubah dalam sidang putusan MK tahun 2019. Sebab, baik calon kepala daerah maupun caleg, sama-sama dipilih oleh rakyat dalam pemilihan.
"Pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah, bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945," kata Suhartoyo, Rabu.
Dalam penjelasannya, Suhartoyo tidak menguraikan alasan memperbolehkan mantan napi politik rezim meski dihukum lebih dari lima tahun, menjadi caleg. Dia hanya menjelaskan soal masa tunggu lima tahun untuk menjadi caleg.
"Masa tunggu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya," kata Suhartoyo.
Sedangkan terkait syarat bukan pelaku tindak pidana berulang-ulang, kata dia, hal itu berkaca dari fakta empirik bahwa ada pejabat mantan terpidana yang kembali melakukan kejahatan sama. Syarat ini bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat mendapatkan pemimpin yang bersih, berintegritas, memberikan pelayanan publik yang baik, dan menghadirkan kesejahteraan.
Untuk diketahui, putusan MK ini merupakan jawaban atas gugatan yang dilayangkan seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Dia sebenarnya meminta MK menyatakan frasa 'kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana' dalam Pasal 240 ayat 1 huruf G UU Pemilu adalah inkonstitusional. Sebab, pasal itu membuka peluang eks napi koruptor menjadi caleg dan tentu merugikan dirinya sebagai pemilih.