REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan dinilai sebagai upaya nyata bangsa Indonesia mengganti tatanan hukum positif agar sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan zaman. Anggota Komisi I DPR, Krisantus Kurniawan, menilai hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan yaitu upaya melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana.
“KUHP suatu negara merupakan ekspresi peradaban bagi negara yang bersangkutan. Penggantian tatanan hukum tersebut merupakan penggantian atau perubahan secara mendasar dan rasional,” ujarnya dalam Webinar bertema ‘Urgensi Pembaruan KUHP’.
Menurut politisi asal pemilihan Kalimantan Barat ini, pembaruan Hukum Pidana merupakan upaya untuk mengganti tatanan Hukum Pidana Positif (Ius Constitutum) dengan tatanan hukum pidana yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Pada akhirnya pembaruan hukum pidana harus secara nyata diwujudkan melalui kebijakan atau politik hukum pidana.
Tentu saja, lanjutnya, pembaharuan hukum pidana tersebut sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofi dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. “Maka pembaruan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy-oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach),” tuturnya.