REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kantor Staf Presiden (KSP) membantah anggapan bahwa KUHP disahkan untuk menjadi alat kekuasaan pemerintahan saat ini guna mematikan demokrasi. Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Sigit Pamungkas, KUHP justru merupakan refleksi dari pengalaman dan harapan demokrasi ke depan.
“KUHP tidak akan membungkam demokrasi. Formulasi KUHP terkait kebebasan berpendapat merupakan refleksi dari pengalaman kita berdemokrasi yang telah lalu sekaligus harapan keadaban berdemokrasi di masa depan,” kata Sigit, dikutip dari siaran pers KSP, Jumat (16/12/2022).
Menurut Sigit, kebebasan berpendapat saat ini berada dalam situasi yang berbeda dari masa sebelumnya. Karena itu, proses pembaharuan dan pengesahan RKUHP dinilai sudah sesuai dengan aspirasi publik dan mekanisme demokratis yang ada.
“Dulu, kebebasan berpendapat masih dibatasi dengan kontrol terhadap partai, masyarakat sipil dan media. Saat ini, pilar-pilar demokrasi tersebut dibebaskan untuk beraspirasi. Parlemen juga terbuka bagi publik. Melalui mekanisme pemilu yang rutin, supremasi sipil juga terjamin. Jadi terlalu berlebihan pandangan bahwa KUHP mematikan demokrasi,” ujar Sigit.
KUHP yang baru disahkan ini akan berlaku secara efektif tiga tahun mendatang. Selama masa transisi ini, pemerintah akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada publik dan aparat penegak hukum tentang pasal-pasal yang telah ditetapkan dalam KUHP yang baru.
Sementara itu, dalam perspektif geopolitik, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto mengingatkan bahwa pengesahan KUHP adalah bentuk penguatan otonomi strategis Indonesia. “Keinginan Indonesia untuk mengadopsi paradigma hukum pidana modern yang meliputi keadilan korektif, keadilan restoratif, serta keadilan rehabilitatif harus menjadi prioritas baru dalam membangun kolaborasi dengan negara lain,” ungkap Andi.
Kepentingan nasional tersebut bertujuan untuk menjaga iklim demokrasi dan dapat diterjemahkan menjadi sikap Indonesia dalam kerangka hubungan luar negeri. “Dengan pengesahan KUHP, kebutuhan Indonesia untuk menjaga sendi-sendi demokrasi di tengah merebaknya tren global tentang politik identitas, ujaran kebencian, serta politik hoaks harus menjadi rujukan utama dalam praktek diplomasi Indonesia,” kata Andi.