REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ajaran untuk mentalqin orang yang hendak meninggal atau baru saja dikubur, terdapat dalam sejumlah kitab hadits, termasuk dalam Sunan Abu Dawud.
Talqin membisikkan kalimat syahadat kepada orang yang hendak meninggal atau mayat yang baru dikuburkan. Dalam Sunan, terdapat hadis berikut. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa pun yang akhir ucapannya (ketika menjelang ajal)adalah kalimat Laa Ilaaha illa Allah, maka ia masuk surga.” Abu Dawud menerangkan, hadits itu dari Mu'adz bin Jabal.
Amien Nurhakim dalam artikelnya di laman Nahdlatul Ulama menukil syarh karya Syekh Abu Hasan al-Sindi atas Sunan Abu Dawud mengenai makna hadits di atas.
Sabda Rasul SAW dapat dimaknai bahwa Allah SWT menjadikan lisan si pengucap kalimat agung itu sebagai tanda.
Yakni, bahwa Dia menganugerahinya ampunan dan kasih sayang. Hal itu sebagaimana disampaikan dalam Alquran surat al-Anbiya ayat 101.
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الْحُسْنَىٰ أُولَٰئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.”
Maka, orang-orang mukmin yang sempat mengucapkan kalimat tauhid sesaat sebelum ajal datang akan tergolong sebagai ahli surga. Siapa pun mereka, tanpa memandang apakah semasa hidupnya bergelimang dosa.
Sebab, kemampuan untuk berucap Laa Ilaaha illallah itu adalah takdir-Nya. Allah SWT telah membuat ketetapan yang baik, sebagaimana dijelaskan dalam al-Anbiya ayat 101.
Siapa Abu Dawud dan karyanya Sunan?
Abu Dawud termasuk salah satu imam hadits terkemuka dengan karyanya Sunan. Kira-kira, dalam 73 tahun masa hidupnya, Abu Dawud berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 50 ribu hadits.
Semua itu kemudian ditelaah dan diseleksinya sehingga terkumpul sebanyak 4.800 hadits. Hadits-hadits itulah yang terhimpun dalam Sunan-nya.
Abu Dawud menyusun kitab tersebut ketika dirinya bermukim di Baghdad. Sebagai seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal, ia terstimulus untuk mengumpulkan hadits yang berkaitan dengan syariat.
Tidak mengherankan bila Sunan-nya berfokus murni pada hadis tentang hukum Islam. Bahkan, secara khusus karyanya tersebut ditujukan kepada pendii mazhab-fikih Hanbali itu.
Hadits-hadits yang dihimpun Abu Dawud dalam sunan terdiri atas kategori-kategori sahih, mendekati-sahih, dan daif. Dalam suratnya kepada penduduk Makkah al-Mukarramah, ia memperkenalkan karyanya itu.
Dijawabnya pelbagai pertanyaan dari mereka mengenai kitab yang telah disusunnya itu.Ia berkata, “Aku telah mendengar dan menuliskan hadits Rasulullah SAW sebanyak 50 ribu buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadits di antaranya yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut, aku himpun hadits- hadits sahih, semisahih, dan yang mendekati sahih,” katanya.
Abu Dawud juga menekankan, dirinya tidak mencantumkan di dalam kitabnya itu satu hadis pun yang telah disepakati orang banyak sebagai perlu ditinggalkan.
Mengenai hadits yang mengandung kelemahan, ia pun memberikan penjelasan mengenai kedudukan hadis daif itu, termasuk tentang yang tidak sahih sanadnya. Adapun hadits yang tidak diberi penjelasan sedikit pun di dalam sunan, berarti itu merupakan hadis yang bernilai sahih.
Hadits sahih dapat dikenali dari tiadanya penjelasan tentang mertabat dan kualitas hadits. Adapun hadits yang mendekati sahih pada prinsip kedudukannya hampir sama dengan hadits sahih.
Perbedaannya hanya terletak pada keyakinan tentang sikap adil ('adalah) dan kejujuran (shiddiq) perawi. Sementara itu, hadis-hadis yang diberi penjelasan secukupnya berarti memiliki kualitas daif.
Menurut Abu Sulaiman al-Khataby, Sunan Abu Dawud memiliki susunan topik-topik yang lebih baik daripada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ia langsung membagi hadits-hadits yang dikumpulkannya dalam bentuk bab dan bagian atau jilid. Secara keseluruhan, ada 1.871 bab dan 95 bagian/jilid.
Baca juga: Islam akan Jadi Agama Mayoritas di 13 Negara Eropa pada 2085, Ini Daftarnya
Hingga Abu Dawud wafat pada 275 H di Bashrah, Sunan-nya terus mendapatkan perhatian besar, khususnya dari para penuntut ilmu hadits.
Wujud dari berbagai atensi itu ialah, antara lain, lahirnya kitab-kitab yang menjelaskan (syarh) atau meringkas (mukhtashar) karya monumental tersebut.
Beberapa syarh atau mukhtashar di antaranya adalah Aun al-Ma'bud Syarh Sunan Abu Dawud karya Syamsul Haq Azima badi dan Badli al-Majhud fi Hall Abi Daqud karya Khalil Ahmad Anshari. Keduanya termasuk jajaran syarh terbaik yang sampai saat ini masih bisa dijumpai.
Imam al-Ghazali berkata memuji karya pemuncak ini, Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits- hadits ahkam(berkaitan dengan hukum Islam).Demikian pula dengan Imam an-Nawawi.