REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari 1.000 pengungsi asal etnis Muslim Rohingya teregistrasi berada di Indonesia hingga saat ini. Gelombang terbaru pengungsi yang tiba di Aceh juga semakin memprihatinkan.
Dalam tiga bulan terakhir, sekurangnya 644 pengungsi Rohingya mendarat di Aceh. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kemudian mendesak Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Internasional PBB 1951 mengenai penanganan pengungsi luar negeri. Indonesia sejauh ini bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.
Konvensi tersebut dirancang pada akhir Perang Dunia II. Adapun definisi tentang pengungsi yang dirumuskan di dalamnya saat itu difokuskan kepada orang-orang yang berada di luar wilayah negara asalnya dan menjadi pengungsi sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi di Eropa sebelum tanggal 1 Januari 1951.
Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Achsanul Habib menjelaskan bahwa ratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 harus dirembuk dalam konsensus nasional. Untuk menjadi sebuah negara yang menerapkan konvensi tersebut diperlukan beberapa prasyarat, seperti, adanya urgensi dan prioritas.
"Dalam kaitan ini kita melihat belum ada kebutuhan ke arah sana. Dan untuk meratifikasinya perlu konsensus nasional dan sejauh ini tidak pernah ada keinginan dari stakeholder nasional untuk melakukan ratifikasi," ujar Achsanul Habib dalam pengarahan media di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Ia memaparkan bahwa terdapat kewajiban yang harus diemban negara-negara yang terlibat dalam konvensi tersebut. Mandat utamanya termasuk integrasi sosial."Jadi sebagai penandatangan Konvensi 1951, sebuah negara harus bersedia menerima siapapun pengungsi yang datang dari manapun kemudian diintegrasikan ke dalam sistem sosial nasional," katanya.
Habib mengatakan, integrasi tersebut dapat berupa diberikannya hak-hak yang sama sebagai warga negara, hak-hak yang sama dalam hal pekerjaan, dan lain sebagainya. "Dan ini tentu bukan hal yang mudah, sebab kalau kita meratifikasi, kita harus bersedia menampung warga negara asing sedemikian banyak dan dijadikan warga negara Indonesia," imbuhnya.
Menurutnya, saat ini pun negara-negara pihak penandatangan konvensi tidak langsung menerima para pengungsi yang masuk. Di sejumlah negara, terdapat seleksi pengungsi yang dijadikan landasan untuk persyaratan mereka masuk ke negara lain.
"Mereka tetap saja harus memerlukan seleksi pengungsi yang kemudian ini menjadikan keresahan berbagai pihak di kalangan pengungsi tentunya yang sudah bertahan di negara-negara transit. Sehingga tuntutannya pun sama ingin mereka semua diterima," katanya.
Dalam menangani masalah pengungsi di Indonesia, Pemerintah mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi luar negeri. Perpres tersebut mengatur bahwa penanggung jawab penanganan pengungsi berada pada badan PBB seperti Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Badan Migrasi Internasional (IOM).
Namun, UNHCR mengatakan, Perpres 125 Tahun 2016 memberikan kerangka hukum yang mengatur perlakuan terhadap pengungsi di atas kapal yang mengalami kesulitan di dekat Indonesia dan membantu mereka turun di negara tersebut. Laporan UNHCR pada Selasa menunjukkan bahwa lebih dari 3.500 orang etnis Rohingya mencoba mengarungi lautan sepanjang 2022. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya sebanyak 700.