REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa harus melibatkan eksekutif, tidak cuma legislatif. Namun, DPR RI tetap membuka ruang dialog bagi seluruh pihak terkait untuk menyampaikan aspirasi.
Ketua DPR RI, Puan Maharani mengatakan, tuntutan yang telah disampaikan kades-kades akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan di DPR RI. Ia mengaku memahami apa yang jadi aspirasi.
Maka itu, ia menekankan, DPR RI akan melihat dulu hal-hal untuk bisa dikaji dan dibahas. Tentu, Puan menerangkan, nantinya DPR RI akan berdialog, berdiskusi dan berbicara dulu dengan pemerintah untuk mencari jalan tengah atau jalan ke luar.
"Agar apa yang menjadi aspirasi dari para kades ini bisa mendapatkan solusi," kata Puan, Jumat (20/1).
Seperti setiap produk kebijakan yang lahir di DPR RI, tindak lanjut tuntutan kades akan melewati kajian berdasar prinsip kehati-hatian. Prinsip ini vital agar implementasi tetap berorientasi ke kebermanfaatan untuk rakyat Indonesia.
DPR RI, lanjut Puan, harus mengkaji terlebih dulu efektivitas dari revisi dan tidak boleh terburu-buru. Artinya, harus dilihat secara substansi yang mendasar terkait aspirasi kades-kades itu. Tapi, yang terpenting aspirasi sudah diterima.
Puan menegaskan, DPR RI sudah mendengarkan apa-apa yang diinginkan kades-kades yang melakukan unjuk rasa kemarin. Termasuk, mendengarkan pandangan mereka soal apa manfaat yang diterima rakyat di bawah dan masyarakat yang ada di lapangan.
"Jadi, itu yang akan kita cerna, kita akan bahas dulu dan tentu saja dikaji secara mendalam," ujar Puan.
Sebelumnya, perangkat desa melakukan unjuk rasa menuntut revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Selasa (17/1). Sejumlah tuntutan yang disampaikan ke DPR RI antara lain masa jabatan kepala desa dan moratorium pemilihan kepala desa.