REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Puluhan ribu warga Israel kembali berkumpul di Tel Aviv untuk memprotes rencana pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu merombak sistem peradilan negara dan melemahkan Mahkamah Agung. Media Israel yang mengutip polisi mengatakan, lebih dari 100 ribu orang bergabung dalam protes pada Sabtu (21/1/2023).
“Mereka ingin mengubah kami menjadi kediktatoran, mereka ingin menghancurkan demokrasi. Mereka ingin menghancurkan otoritas yudisial, tidak ada negara demokrasi tanpa otoritas yudisial," kata Kepala Asosiasi Pengacara Israel, Avi Chimi, dilaporkan Aljazirah, Ahad (22/1/2023).
Pemerintah Netanyahu mengatakan, perubahan yudisial diperlukan untuk mengekang jangkauan hakim aktivis yang berlebihan. Rencana perubahan sistem peradilan tersebut telah menarik kecaman keras dari berbagai kalangan, termasuk pengacara dan bisnis. Para kritikus mengatakan, perubahan itu mengancam pemeriksaan dan keseimbangan demokrasi.
Para pengunjuk membawa bendera dan spanduk bertuliskan "Kami Tidak Akan Hidup dalam Kediktatoran". Kritikus mengatakan, masa depan demokrasi Israel dipertaruhkan jika pemerintah berhasil mendorong rencana tersebut karena mereka akan memperketat kontrol politik atas penunjukan hakim. Termasuk membatasi kekuasaan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah atau undang-undang Knesset. Selain mengancam independensi hakim dan melemahkan pengawasan pemerintah dan parlemen, para pengunjuk rasa mengatakan, reformasi peradilan akan merusak hak-hak minoritas dan membuka pintu lebih banyak korupsi.
“Semua generasi prihatin. Ini bukan lelucon. Ini adalah redefinisi demokrasi yang lengkap," ujar seorang pengunjuk rasa, Lior Student.
Mantan perdana menteri Yair Lapid ikut bergabung dalam protes tersebut. Dia mengatakan, aksi protes ini bertujuan untuk membela negara. "Orang-orang datang ke sini hari ini untuk melindungi demokrasi mereka," ujarnya.
Protes lainnya terjadi di Kota Yerusalem, Haifa dan Bersyeba. Unjuk rasa itu terjadi beberapa hari setelah Mahkamah Agung memerintahkan Netanyahu untuk memecat Menteri Dalam Negeri Aryeh Deri, seorang memimpin partai agama Shas, atas tuduhan penggelapan pajak.
Pemerintahan baru Netanyahu terdiri dari aliansi antara Partai Likud beserta sekelompok kecil partai agama dan nasionalis sayap kanan. Mereka mengklaim memiliki mandat untuk perubahan besar.
Politisi Likud telah lama menuduh Mahkamah Agung didominasi oleh hakim sayap kiri. Sebuah survei yang dirilis oleh Israel Democracy Institute pekan lalu menunjukkan kepercayaan di Mahkamah Agung jauh lebih tinggi di antara kelompok sayap kiri Israel daripada sayap kanan. Tetapi tidak ada dukungan keseluruhan untuk melemahkan kekuatan pengadilan.