REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mahkamah Agung (MA) Israel membuka kasus pertama yang meninjau legalitas perombakan peradilan pada Selasa (12/9/2023). Sebanyak 15 hakim MA Israel bersama-sama mendengarkan permohonan banding untuk pertama kalinya dalam sejarah Israel.
Panel reguler terdiri atas tiga hakim meskipun terkadang mereka duduk dalam panel yang diperluas. Proses persidangan juga disiarkan langsung.
“Ini adalah hari bersejarah,” kata wakil presiden Institut Demokrasi Israel Susie Navot.
Para pemohon yang meminta pengadilan untuk membatalkan undang-undang tersebut, termasuk segelintir kelompok masyarakat sipil yang mengadvokasi hak asasi manusia dan pemerintahan yang baik. Keputusan diperkirakan tidak akan diambil pada Selasa, hanya saja persidangan tersebut dapat memberikan petunjuk mengenai arahan pengadilan.
“Ini adalah pertama kalinya kami melakukan dengar pendapat seperti ini," ujar Navot yang menjadi perwakilan lembaga think-tank di Yerusalem yang mengkritik perombakan tersebut.
Koalisi Benjamin Netanyahu meluncurkan perombakan awal tahun ini, tidak lama setelah menjabat kembali. Para pendukung rencana tersebut mengatakan, sistem peradilan yang tidak melalui proses pemilihan yang dipimpin oleh MA mempunyai kekuasaan yang terlalu besar. Para kritikus mengatakan, rencana untuk melemahkan MA menghilangkan perlindungan utama dan akan memusatkan kekuasaan di tangan Netanyahu dan sekutu sayap kanannya.
Sidang pertama ini menempatkan para hakim senior di negara tersebut dalam posisi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam memutuskan kemungkinan menerima batasan atas kekuasaan MA. Hal ini berfokus pada undang-undang pertama yang disahkan oleh parlemen pada Juli.
Undang-undang baru itu membatalkan kemampuan pengadilan untuk membatalkan keputusan pemerintah yang dianggap tidak masuk akal. Hakim di masa lalu telah menggunakan standar hukum untuk mencegah keputusan pemerintah yang berkuasa dianggap tidak sehat atau korup.
Aturan baru tersebut disahkan sebagai amandemen atas “Hukum Dasar” yang merupakan undang-undang khusus yang berfungsi sebagai semacam konstitusi yang tidak dimiliki Israel. Pengadilan belum pernah membatalkan “Hukum Dasar” sebelumnya tetapi bahwa mereka mempunyai hak untuk melakukan hal tersebut. Sedangkan pemerintah mengatakan tidak bisa.
Dalam sebuah pernyataan menjelang sidang pada Selasa, Menteri Kehakiman Israel Yariv Levin mengatakan, pengadilan tidak memiliki wewenang untuk meninjau undang-undang tersebut. Dia menegaskan, anggota parlemen yang dipilih oleh masyarakat harus mengambil keputusan akhir atas undang-undang tersebut.
“Ini merupakan pukulan fatal bagi demokrasi dan status Knesset,” kata Levin.
Perombakan sistem peradilan telah membuat marah warga Israel di banyak lapisan masyarakat. Langkah itu menyebabkan ratusan ribu orang turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa selama 36 minggu terakhir.
Para pengunjuk rasa sebagian besar berasal dari kelas menengah sekuler di negara tersebut. Tokoh-tokoh bisnis teknologi tinggi terkemuka mengancam akan pindah.
Mungkin penentangan paling dramatis adalah ribuan tentara cadangan telah memutuskan hubungan dengan pemerintah. Mereka menyatakan penolakan untuk melapor karena rencana tersebut.
Pendukung Netanyahu cenderung berasal dari kalangan miskin, lebih religius, dan tinggal di permukiman Tepi Barat atau daerah pedesaan terpencil. Banyak dari pendukungnya adalah kelas pekerja Yahudi Mizrahi, yang berasal dari negara-negara Timur Tengah.
Kasus ini merupakan inti dari persaingan yang lebih luas di Israel antara penafsiran demokrasi yang berbeda secara mendasar. Netanyahu dan koalisi sayap kanannya mengatakan, sebagai wakil terpilih, mereka memiliki mandat demokratis untuk memerintah tanpa tertatih-tatih oleh pengadilan. Mereka menggambarkan tindakan itu sebagai benteng elit sekuler dan berhaluan kiri.
Para penentang ide tersebut mengatakan, MA adalah satu-satunya lembaga pengawas kekuasaan mayoritas di sebuah negara dengan sistem checks and balances yang sangat lemah. Tanda-tanda itu dengan memiliki satu gedung parlemen, seorang presiden tanpa kendali, dan tidak ada konstitusi tertulis yang tegas.
Mereka mengatakan, tanpa kekuasaan untuk meninjau dan membatalkan beberapa keputusan pemerintah, pemerintahan Netanyahu dapat menunjuk kroni-kroni yang dihukum untuk menduduki jabatan-jabatan di Kabinet. Pemerintah juga bisa dengan mudah mencabut hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, dan mencaplok wilayah pendudukan Tepi Barat.
Kelangsungan hidup politik Netanyahu bergantung pada mitra koalisi garis keras dan konservatif yang mengancam akan memberontak jika dia membatalkan undang-undang tersebut. Netanyahu menolak mengatakan dengan jelas apakah akan menghormati keputusan pengadilan yang membatalkan undang-undang baru tersebut. Beberapa anggota koalisinya, termasuk Levin, telah mengisyaratkan bahwa pemerintah dapat mengabaikan keputusan pengadilan tersebut.
Pakar hukum memperingatkan hal ini dapat memicu krisis konstitusional. Warga negara dan pasukan keamanan dibiarkan memutuskan perintah yang harus diikuti yang akan membuat negara ini terjerumus ke dalam wilayah yang belum dipetakan.