Jumat 17 Feb 2023 16:03 WIB

Ini Konsekuensi Jika Polri Tetap Pertahankan Eliezer Menurut Pengamat

Pengamat menilai jika tetap mempertahankan Eliezer, Polri akan dinilai permisif.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Richard Eliezer. Pengamat menilai jika tetap mempertahankan Eliezer, Polri akan dinilai permisif.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Richard Eliezer. Pengamat menilai jika tetap mempertahankan Eliezer, Polri akan dinilai permisif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyampaikan konsekuensi jika Bharada Richard Eliezer (RE) tidak dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dan tetap bergabung dengan Polri.

"Di sisi lain, bila tidak dilakukan PTDH artinya Polri sebagai organisasi penegak hukum akan dianggap permisif pada tindak pelanggaran hukum oleh anggotanya," kata Bambang melalui pesan singkatnya, Jumat (17/2/2023).

Baca Juga

Bambang melanjutkan, meskipun Eliezer telah jujur dan berperan menguak kasus pembunuhan yang menyeret Ferdy Sambo, tetapi tidak menutup fakta jika Eliezer mematuhi perintah atasan untuk menembak Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Karena itu, Bambang mengingatkan Mahkamah Etik Internal Polri harus benar-benar mempertimbangkan berbagai hal terkait masa depan mantan Ajudan Ferdy Sambo tersebut di Polri. Tujuannya kata Bambang, untuk membangun Polri sebagai lembaga penegak hukum yang menjaga wibawa, bermartabat dan profesional.

"Kita ingin  membangun polisi yang profesional atau tidak? Kalau taat pada pimpinan untuk melakukan hal yang salah diampuni, artinya kita permisif pada pelanggaran dan jauh dari semangat membangun polisi profesional," ujarnya.

Bambang mengatakan, hasil sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) juga yang nantinya akan menentukan Bharada Richard Eliezer (RE) tetap di Polri atau diberhentikan.

Ini karena vonis 1,5 tahun kepada Eliezer atas kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat tidak masuk syarat pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 yang kemudian direvisi menjadi Perpol 7/2022.

Aturan menyebut, sanksi berat pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bisa dilakukan untuk personel yang mendapatkan ancaman hukuman pidana tahanan 5 tahun dan divonis 3 tahun yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Namun di sisi lain, aturan itu bertolak belakang dengan Peraturan Peraturan Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian personel Polri yang hanya menyebut sanksi PTDH berlaku pada personel yang divonis pidana tanpa batasan waktu.

"Semua tergantung pada hasil sidang KKEP Polri nanti, tetapi masalahnya sidang KKEP yang akan digelar pasca pengadilan pidana tersebut, akan menggunakan aturan yang mana, dalam tata perundangan, tentunya PP lebih tinggi dibanding Peraturan Polri," ujar Bambang.

Karena itu, Bambang mendorong sidang KKEP harus segera dilakukan setelah vonis hakim diketok. Menurutnya, ini penting untuk mengetahui putusan hakim terhadap Eliezer ini dianggap pelanggaran etik berat, sedang atau ringan.

"Pelanggaran berat tentu konsekuensinya adalah sanksi berat yakni PTDH pemberhentian dengan tidak hormat," katanya.

Sebelumnya, Polri mengaku menyiapkan sidang kode etik terhadap Bharada Richard Eliezer (RE). Mahkamah etik internal kepolisian tersebut akan segera bersidang memutuskan nasib karier terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) itu kepolisian.

Kadiv Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, Divisi Propam Polri, sudah menyiapkan komposisi majelis etik dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tersebut. Irjen Dedi belum bersedia mengumumkan siapa saja komposisi pengadil dalam sidang etik itu nantinya.

Kadiv Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Dedi Prasetyo mengatakan, Divisi Propam Polri, sudah menyiapkan komposisi majelis etik dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tersebut. Irjen Dedi belum bersedia mengumumkan siapa saja komposisi pengadil dalam sidang etik itu nantinya.

Dedi menambahkan, hasil sidang KKEP terhadap Richard itu nantinya yang akan memutuskan, apakah anggota Brimob 24 tahun tersebut, tetap boleh berkarier di kepolisian, atau diberhentikan. Dedi tak mau berspekulasi tentang apa yang belum dilakukan dan yang belum dihasilkan dari sidang KKEP terhadap Richard.

"Kita jangan mendahului apa yang belum terjadi. Nanti kita lihat saja hasilnya seperti apa,” ujar Dedi.

Namun begitu, dikatakan Dedi, hakim KKEP juga tak tutup mata serta tak tipis telinga dalam melihat, juga mendengar fakta-fakta eksternal terkait nasib Richard. Irjen Dedi mengutip Pasal 107 dan Pasal 109 Perkapolri 7/2022 tentang KKEP.

Dalam aturan internal tersebut, dia menerangkan hakim KKEP dalam memutuskan perkara etik anggota kepolisian juga dengan memertimbangkan saran, dan masukan dari berbagai pihak. Termasuk pandangan para ahli dan fakta hukum terkait Richard.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement