REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Jepang tidak main-main untuk mengatasi penurunan angka kehamilan di negaranya. Salah satu yang dilakukan yaitu meningkatkan subsidi keuangan bagi keluarga yang ingin mempunyai bayi.
Jepang telah mencoba banyak upaya. Mulai dari memberikan subsidi kepada pasangan yang menikah sebelum usia 40 tahun, menghadirkan program pejodohan, hingga mendorong pasangan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah dan menawarkan tempat penitipan anak yang lebih terjangkau. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, dana pemerintah telah dikucurkan untuk mendorong warganya mau memiliki anak.
Kali ini subsidi yang akan diberikan adalah sekitar 400 dolar AS atau sekitar Rp 6 juta untuk menyamai harga rata-rata melahirkan di klinik. Ironisnya, semua klinik di Jepang telah menaikkan biaya melahirkan.
Penulis di UCA News, Cristian Martini Grimaldi, mengatakan sejauh ini Jepang tidak membahas poin penting dari masalah rendahnya angka kelahiran di Jepang, yaitu pasangan yang tidak memiliki anak sebagian besar adalah pasangan yang belum menikah. Kecenderungan masyarakat Jepang yang menunda pernikahan sebenarnya selalu dituding sebagai penyebab rendahnya angka kelahiran.
Faktanya, pasangan yang sudah menikah adalah satu-satunya alasan mengapa Jepang memiliki kesempatan untuk melihat kebangkitan demografis. Ini berarti, keluarga tradisional masih merupakan sumber kekuatan masa depan yang baik bagi bangsa Jepang, tetapi hal ini tidak pernah ditunjukkan secara langsung.
Salah satu alasannya adalah struktur keluarga tradisional dan peran gender tradisional di sana mulai diserang dengan dalih diskriminasi dan ketidaksetaraan, serta munculnya desakan dari masyarakat yang ingin lebih inklusif dan setara. Ini adalah prinsip-prinsip yang mulai masuk ke dalam sistem pendidikan Jepang.
Menurut Grimaldi, ada beberapa strategi potensial yang dapat diterapkan untuk meningkatkan jumlah keluarga yang menikah di Jepang. Pertama, pemerintah bisa mendorong anak muda untuk menikah, misalnya pemerintah bisa membuat program atau kampanye yang mendorong para pelajar untuk juga mempertimbangkan pernikahan, bukan hanya karir profesional, sebagai pilihan yang layak di masa depan.
“Pilihan lainnya adalah membangun perumahan yang lebih terjangkau: tetapi tidak terlihat kusam seperti yang terjadi pada kompleks perumahan umum. Hal ini cenderung membuat pasangan muda takut,” kata Grimaldi seperti dilansir UCA News, Jumat (24/2/2023).
Strategi lain yang masuk akal adalah dengan menurunkan biaya pernikahan, atau setidaknya mempromosikan budaya di mana hal ini bukanlah persyaratan mutlak. Pernikahan di Jepang biasanya sangat mahal karena sering kali meniru pernikahan Kristen Barat. Untuk membantu penghematan biaya, pemerintah juga dapat mempertimbangkan langkah-langkah seperti potongan pajak yang signifikan bagi pasangan muda yang memilih untuk menikah.
Secara keseluruhan, populasi Jepang yang menua dan tingkat kelahiran rendah merupakan masalah rumit yang membutuhkan pendekatan beragam. Grimaldi juga menilai, masalah ini tidak bisa diatasi jika sikap politiknya adalah menemukan satu solusi yang bisa menyelesaikan semua masalah.