REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) menindaklanjuti dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) soal putusan penundaan Pemilu 2024. Putusan itu diketok Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Komisioner KY Bidang Pengawasan Perilaku Hakim dan Investigasi, Joko Sasmito menyampaikan, pemeriksaan terhadap Majelis Hakim PN Jakpus masih belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. KY terlebih dahulu mesti menemukan dugaan pelanggaran KEPPH lewat pemeriksaan saksi, diantaranya panitera PN Jakpus.
"Pemeriksaan saksi itu bisa saja hakim lain yang tahu, panitera atau siapa saja yang tahu tentang putusan itu. Kalau pemeriksaan saksi arahnya dugaan pelanggaran etiknya ada baru nanti kita periksa hakimnya setelah sidang panel," kata Joko kepada Republika, Ahad (5/3/2023).
Joko menjamin KY bekerja menggunakan kewenangan yang dimiliki. Ia menjamin KY tak mendiamkan kekhawatiran masyarakat soal putusan penundaan pemilu.
"Kami sudah mulai mendalami terkait putusan itu. Ada nggak dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Majelis hakim, tidak bisa langsung panggil Majelis Hakim," ujar Joko.
Joko merujuk Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penanganan Laporan Masyarakat. Pemeriksaan terhadap hakim sebagai terlapor bisa dilakukan ketika sudah ada dugaan pelanggaran KEPPH.
"Mestinya meski enggak ada pelaporan (masyarakat), KY secara investigasi mandiri bisa lakukan tahapan-tahapan pendalaman, setelah itu kalau ada dugaan (pelanggaran KEPPH) dibawa ke panel lalu ke pleno," ucap Joko.
Ketika KY sudah punya dasar kuat berupa dugaan pelanggaran KEPPH, maka hakim yang bersangkutan dapat dimintai keterangan. Pemanggilan ini pun mesti diketahui oleh ketua PN bersangkutan.
"Kalau pemanggilan nanti surat ditujukan ke (hakim) yang bersangkutan ditembuskan kepada ketua PN. Ketua PN harus tahu selaku pimpinan instansi," ujar Joko.
Sebelumnya, PN Jakpus memutuskan menerima gugatan yang diajukan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) pada Kamis (2/3/2023). Lewat putusan itu, Majelis Hakim berpendapat agar Pemilu 2024 ditunda.
"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis putusan yang dikutip Republika, Kamis (2/3).
Gugatan dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. itu menjadikan KPU sebagai tergugat. Gugatan ini diajukan sejak 8 Desember 2022 oleh PRIMA. Majelis hakim memutuskan menolak eksepsi KPU yang menganggap gugatan Prima kabur atau tidak jelas. Putusan ini diketok oleh Hakim Ketua Majelis Teungku Oyong dengan anggota hakim H.Bakri dan Dominggus Silaban.