REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLNKI) Prof Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, peringatan Hari Internasional Islamofobia pada 15 Maret begitu penting, namun perlu ditindak lanjuti dengan langkah yang kongkrit.
"Peringatan hari perlawanan terhadap Islamofobia tentu sangat penting dilakukan setiap tahun dengan berbagai cara. Akan tetapi langkah-langkah kongkrit yang dilakukan secara bersama-sama di berbagai wilayah dunia jauh lebih penting," kata Sudarnoto pada Rabu (15/3/2023).
Dia mengatakan, 15 Maret telah ditetapkan oleh PBB dalam sidang umumnya sebagai hari internasional melawan Islamofobia. Ide yang diajukan oleh Pakistan atas nama OKI ini begitu penting menjadi perhatian semua pihak, tidak saja oleh masyarakat muslim dan ormas-ormas Islam di mana saja. Menurut Sudarnoto, Islamofobia sudah muncul dan berkembang cukup lama bahkan hingga hari ini di banyak wilayah dunia.
"Resolusi ini harus diwujudkan sehingga muncul kepastian bahwa gerakan Islamofobia ini benar-benar berkurang secara signifikan kalaupun tidak bisa terhapus sama sekali. Pertanyaannya adalah apakah gerakan Islamofobia ini telah benar-benar berkurang secara signifikan atau malah berkembang pesat? Kasus-kasus yang terjadi misalnya di India dan pembakaran Alquran di Swedia yang belum lama ini terjadi adalah bukti nyata bahwa Islamofobia bisa terjadi kapan saja dan di mana saja baik di negara-negara Barat maupun di negara Timur lainnya," papar Sudarnoto.
Sudarnoto melanjutkan, gerakan ini memang dilakukan oleh banyak kelompok kepentingan di banyak tempat dengan eskpresi dan cara yang bervariasi. Sudarnoto menegaskan, bahwa Islamofobia ini sebenarnya tidaklah semata-mata anti kepada Islam dan umat Islam, akan tetapi juga menginjak-injak Universal Declaration of Human Rights.
"Karena itu, Islamofobia adalah musuh nyata kemanusiaan universal. Dan karena itu, tantangannya masih sangat besar untuk melawan Islamofobia ini. Di antara tantangan itu ialah political will semua negara antara lain untuk membuat undang-undang yang benar-benar bisa memberikan jaminan hukum dan politik bahwa fobia (termasuk Islamofobia) tidak terjadi," kata Sudarnoto.
Menurut dia, Undang-undang ini di samping memberikan arah kepada masyarakat untuk bersikap toleran terhadap perbedaan, sekaligus memberikan sanksi keras bagi siapa saja yang dengan cara apa saja memicu kebencian di tengah-tengah masyarakat. Dia mengatakan, kenyataan yang sering terjadi di masyarakat misalnya tindakan kekerasan verbal bahkan fisik terhadap tokoh agama atau kepada siapa saja dengan alasan dan motif apapun.
Dia melanjutkan, penghinaan dan ujaran kebencian kepada ajaran agama juga sering terjadi. Dan yang begitu memprihatinkan yakni negara menjadi aktor utama tindakan kekerasan terhadap agama dan komunitas agama tertentu. Ini yang misalnya terjadi di India. Adanya undang-undang ini, maka ada kepastian bahwa negara hadir dalam menghentikan Islamofobia.
"Indonesia, sebagai negara muslim terbesar seharusnya menjadi negara percontohan bagaimana toleransi dibangun dan diperkuat, human fraternity diperkokoh, dan kebencian kepada agama apapun tidak terjadi. Indonesia memiliki peluang yang besar untuk membangun sebuah sistem hukum yang antara lain memberikan jaminan terhadap perbedaan agama dan pelaku kebencian kepada agama dan umat beragama akan menerima sanksi keras," kata Sudarnoto.
"Masalahnya, tanda-tanda Islamofobia bergerak di Indonesia dan melakukan aksinya sudah terasa dengan banyak cara dan saluran. Karena itu harus ada langkah-langkah cepat dan pasti agar Indonesia tidak mengalami keterlambatan menangani Islamofobia. Indonesia harus dijaga secara konstitusional agar ekstimisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islamofobe dan kelompok apapun tidak membajak demokrasi, membajak kemanusiaan, membajak agama dan membajak negara. Peran negara sangat penting dan kontribusi seluruh kekuatan civil society juga sangat berharga," lanjut dia.
Sudarnoto mengungkapkan, bagi negara anggota OKI termasuk Indonesia, resolusi ini juga merupakan ruang dan kesempatan besar untuk melakukan langkah-langkah strategis baik sendiri maupun bersama-sama secara kolaboratif. Di antara langkah ini ialah pengarusutmanaan Washotiyatul Islam melalui berbagai program yang juga terpadu.
Dia mengatakan, khusus Indonesia, ini menjadi peluang besar untuk membuktikan bahwa Indonesia bisa menjadi pusat Washatiyatul Islam global. Hal ini sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu. Waktunya tidak lagi memperbanyak retorika, akan tetapi bekerja keras untuk Washotiyatul islam ini sehingga Rahmatan lil alamin benar-benar bisa terwujud dan dirasakan.
Menurut Sudarnoto, ini sekaligus juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan konsolidasi kebangsaan secara internal sehingga semua pihak benar-benar berkomitmen tinggi untuk membangun Indonesia sebagai negara dan bangsa yang relijius berKetuhanan Yang Maha Esa, berkeadilan, dan berkeadaban memperteguh kesatuan menegakkan musyawarah sebagaimana yang amanah Pancasila. Menurut dia, tidak boleh ada yang menyakiti dan tersakiti karena ini bisa memicu ekstrimisme dan menggoyah sendi kebangsaan.
"Islamofobia adalah juga satu bentuk lain dari ekstrimisme yang sangat membahayakan bagi siapapun. Namun demikian menangkal dan melawan Islamofobia ini juga harus dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi dan beradab, tidak dengan cara-cara ekstrim dan dzolim. Karena itu, kerjasama dengan berbagai pihak dalam menyusun dan mengimplementasikan program menangkal dan melawan Islamofobia ini menjadi sangat penting. Dan bulan Ramadhan ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperteguh atau memperkuat semangat melawan Islamofobia dengan cara memperkuat Washotiyatul Islam," ucap Sudarnoto.