REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum telah merampungkan masa hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada Selasa (11/4/2023). Ia bebas bersyarat melalui program Cuti Menjelang Bebas (CMB), yang berarti masih diwajibkan melapor selama tiga bulan ke depan.
Anas Urbaningrum merupakan putra dari pasangan Mughni dan Sriati. Ia lahir di Blitar pada 15 Juli 1969 dan menikah dengan Athiyyah Laila pada 1999. Anas mulai aktif di dunia politik sejak duduk di bangku mahasiswa di Universitas Airlangga.
Ia masuk ke universitas tersebut pada 1987 melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) atau tanpa tes. Saat itu ia mengambil jurusan politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dan dinyatakan lulus pada 1992.
Anas kemudian melanjutkan pendidikan master di Universitas Indonesia dengan perolehan gelar master di bidang ilmu politik pada 2000. Kegiatan politik Anas mulai aktif ketika dirinya bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia pun terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI pada kongres HMI di Yogyakarta pada 1997.
Perjalanan politiknya semakin masif hingga dia menjadi anggota tim seleksi partai politik. Anas juga sempat ditunjuk menjadi anggota tim revisi undang-undang politik atau dikenal dengan "Tim tujuh" yang dipimpin oleh Ryaas Rasyid.
Tim itu menghasilkan rancangan draf undang-undang pemilu yang melahirkan UU No 2/1999 tentang Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilihan Umum, dan UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. UU tersebut merupakan produk baru untuk menggelar Pemilu dengan sistem baru saat itu.
Anas membuktikan karier politiknya terus melejit dengan menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2001 untuk persiapkan Pemilu 2004. Saat itu, pelantikannya dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Ketua KPU Nazaruddin. Setelah selesai pemilu, Anas mundur dari KPU pada 8 Juni 2005. Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden.
Anas bergabung dengan Partai Demokrat yang dibentuk SBY. Dia menjabat sebagai ketua divisi otonomi politik dan daerah DPP Partai Demokrat. Dia kemudian mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Pemilu 2009.
Anas terpilih dari daerah pemilihan Jawa Timur VII yang meliputi kota kabupaten kelahirannya Blitar, Kota dan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Tulungagung. Saat itu, suara yang diperolehnya mencapai suara terbanyak yaitu 178.381.
Nama Anas Urbaningrum terus mengemuka dan kuat hingga dia terpilih menjadi Ketua Fraksi Demokrat di DPR untuk periode 2009-2014. Menyusul pemilihannya sebagai ketua umum Partai Demokrat, Anas memutuskan mengundurkan diri dari DPR.
Pada Kongres II Demokrat 2010 di Bandung, dia mendeklarasikan maju sebagai calon ketua umum demokrat yang menjadikan peristiwa penting dalam politik Indonesia. Saat itu Anas menghidupkan pidato politiknya bertajuk "Membangun budaya demokrasi."
Anas bahkan meluncurkan buku "Revolusi Sunyi" dalam rangkaian persiapan kongres. Dalam pemungutan suara putaran pertama, Anas unggul dari Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng. Namun putaran kedua dilaksanakan lagi karena tidak ada kandidat yang memperoleh suara 50 persen.
Pada pemilihan putaran kedua, Anas unggul dan menduduki posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Saat itu, dia menjadi salah seorang ketua partai politik termuda di Indonesia.
Puncak karir politik Anas kemudian jatuh tersungkur dimulai dari kicauan mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dalam kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang. Nama Anas disebut Nazaruddin sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus Hambalang.
Anas Urbaningrum kemudian ditetapkan sebagai terpidana kasus korupsi dan pencucian uang proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang dan proyek-proyek lainnya kurun waktu 2010-2012. Anas dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 64 KUHP, pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun 2003.
Pada 2014, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis 8 tahun penjara kepada Anas. Anas juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider kurungan selama tiga bulan dan hakim juga memerintahkan jaksa menyita tanah di Pondok Ali Ma'sum, Krapyak, Yogyakarta.
Tanah seluas 7.870 meter persegi itu disebut merupakan hasil korupsi yang dilakukan Anas. Vonis ini lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa KPK agar Anas divonis 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp 94 miliar dan 5,2 juta dolar AS. Atas putusan ini Anas menyatakan banding.
Banding Anas diterima dan mendapatkan pengurangan jadi tujuh tahun. Namun demikian, KPK melakukan kasasi ke Mahkamah Agung yang justru memperberat hukuman Anas menjadi 14 tahun.
Anas lalu mengajukan Peninjauan Kembali pada 2018, beberapa tahun setelah putusan MA. Pada 2020, dua tahun kemudian MA memutuskan untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Anas Urbaningrum dengan pidana penjara selama 8 tahun, ditambah dengan pidana denda sebanyak Rp 300 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan kurungan selama tiga bulan.
Pada April 2023, Anas dinyatakan telah menyelesaikan masa hukuman delapan tahun tersebut. Dia bebas dan disambut oleh ratusan pendukungnya di depan lapas Sukamiskin Bandung. Dia kini melakukan perjalanan ke kampung halamannya untuk menunaikan utang silaturahimnya.