REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Semakin rapatnya area permukiman, membuat kondisi daerah aliran sungai (DAS) bertambah mengenaskan. Menipisnya lahan tutupan hutan di kawasan rentan, seperti dataran tinggi dan daerah hulu sungai, tentu dapat menurunkan fungsi penting hutan sebagai regulator pengatur proses hidrologi alamiah.
Dewan Pakar Forum DAS Nasional, Harry Santoso membeberkan, sejatinya pemerintah telah mengatur sejumlah regulasi untuk memastikan kecukupan luas kawasan hutan dan tutupan hutan di DAS, yang tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Batasan Luas Hutan yang Harus Dipertahankan Minimal 30 Persen dari Luas DAS.
Namun, regulasi itu dihapus dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. "Penghapusan minimal 30 persen kawasan hutan ini tentu akan menyebabkan liberalisasi kebijakan, dan membuka peluang lepas kendalinya pemanfaatan kawasan hutan baik untuk lahan industri maupun komersil," ucap Harry dalam Focus Group Discussion (FGD) Kecukupan Tutupan Hutan di Sekolah Pascasarjana Universitas Padjajaran, Kota Bandung, Selasa (12/4/2023).
Menurut Harry, terdapat pertentangan antara perencanaan tata ruang dan pengelolaan DAS upaya unyuk menjaga kecukupan kawasan hutan dan tutupan hutan di DAS. Padahal, peran tutupan lahan sangat penting untuk mencegah terjadinya erosi, longsor, dan banjir, serta menjaga tegakan pohon, serasah dan tumbuhan bawah.
"Namun upaya ini terus tersisihkan dengan kepentingan komersial yang banyak menargetkan wilayah tutupan hutan sebagai tempat wisata, resort, hotel hingga perumahan," ujar Harry.
Senior Assosiate Sustainitiate, Haryadi Himawan melanjutkan, pentingnya kejelasan aturan tentang keseimbangan antara pemanfaatan hutan dan kompensasi yang perlu dikeluarkan pengelola untuk upaya restorasi lanskap hutan. Tujuannya agar hutan tetap lestari.
"Pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pihak lain (pengelola) dapat memberikan insentif kepada pihak yang dapat memulihkan, mempertahankan, dan/atau melestarikan hutan di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan," ujarnya.
Namun realitanya, banyak pengelola tempat wisata, hotel, atau resort, yang berdiri di atas wilayah tutupan hutan, yang hanya memberikan sumbangsih atau insentif seadanya untuk pemeliharaan dan restorasi hutan. Menurut Haryadi, Tangkuban Perahu merupakan satu dari jutaan tempat yang memanfaatkan wilayah tutupan hutan sebagai area komersial.
Sayangnya, sumbangsih yang diberikan pengelola untuk pemulihan hutan dan DAS sangat jauh jika dibandingkan pemasukan yang didapat. "Pemanfaatan hutan sebagai destinasi wisata, awalnya memang ditujukan untuk meningkatkan perekonomian sekitar, seperti pendapatan dari Tangkuban Perahu itu bisa mencapai miliaran per hari, tapi insentif untuk restorasi hutan itu sangat kecil alokasinya," ungkap Haryadi.
Kondisi itu, belum lagi diperburuk dengan masifnya pembangunan perumahan dan resort mewah di wilayah rentan. Menurut Haryadi, pemerintah sebagai regulator memiliki peran penting untuk menyortir perizinan pembangunan area komersil di kawasan hutan atau tutupan hutan DAS.
"Pemerintah daerah harus mampu mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan sesuai dengan fungsinya, bukan hanya memberikan kebebasan bagi para pengelola komersil untuk mengeksploitasi hutan," kata Haryadi.