Kamis 27 Apr 2023 16:53 WIB

Dokter di Sudan Desak Pertempuran Dihentikan Karena Pasokan Medis Menipis

Pasokan medis menipis dan tenaga medis di RS Sudan kewalahan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Dalam foto yang disediakan oleh Maheen S ini, asap memenuhi langit di Khartoum, Sudan, dekat Rumah Sakit Internasional Doha pada Jumat (21/4/2023).
Foto: Maheen S via AP
Dalam foto yang disediakan oleh Maheen S ini, asap memenuhi langit di Khartoum, Sudan, dekat Rumah Sakit Internasional Doha pada Jumat (21/4/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Seorang dokter di sebuah rumah sakit di Ibu Kota Sudan, Khartoum pada Rabu (26/4/2023) menyerukan agar konflik diakhiri karena pasokan medis menipis dan staf kewalahan. Howida Ahmed Mohammed Alhassan membuat pernyataan sambil membuat video di bangsal rumah sakitnya yang penuh pasien.

“Kami menyerukan kepada semua organisasi hak asasi dan kemanusiaan untuk memaksa kedua pihak yang berkonflik menghentikan perang,” kata Alhassan.

Baca Juga

Video dari rumah sakit Al Ban Jadeed di lingkungan East Nile menunjukkan orang-orang yang terluka dirawat staf medis. Sementara orang-orang lainnya menunggu di koridor.

Tentara Sudan dan pasukan paramiliter bertempur di pinggiran Khartoum pada Rabu. Mereka tidak mematuhi gencatan senjata dalam konflik yang dapat mengorbankan warga sipil. Serangan udara dan artileri telah menewaskan sedikitnya 512 orang, melukai hampir 4.200 orang, menghancurkan rumah sakit dan distribusi makanan.

Pertempuran antara angkatan bersenjata dan kelompok paramiliter Sudan, Rapid Support Forces (RSF) menyebabkan warga sipil mengalami kekurangan air, makanan, dan perawatan kesehatan. Sejumlah kelompok komunitas masyarakat bermunculan untuk memobilisasi bantuan medis dan memenuhi persediaan kebutuhan dasar.

Perebutan kekuasaan antara militer dan pasukan paramiliter yang sebelumnya memerintah bersama, telah membunuh ratusan warga sipil dan menjerumuskan Sudan ke dalam bencana kemanusiaan.

Sebuah komite protes yang mengorganisir demonstrasi menentang dewan militer yang berkuasa, telah berubah menjadi semacam layanan kesehatan akar rumput.  Di tempat lain, individu telah menggunakan teknologi untuk mencocokkan persediaan makanan, air bersih, dan obat-obatan lokal dengan lingkungan yang membutuhkan.

"Begitu perang dimulai, pada malam yang sama kami berkumpul untuk mulai memikirkan cara menjadi sukarelawan," kata Azza Surketty, bagian dari Komite Perlawanan Maamoura yang dibentuk selama pemberontakan massal pada 2019 dan membantu mengorganisir bantuan di distrik Maamoura di ibu kota selama pandemi Covid-19 dan banjir.

Komite Perlawanan Maamoura memobilisasi tim ahli bedah dan petugas medis lainnya. Mereka juga membuka kembali pusat kesehatan setempat untuk kasus-kasus mendesak dan membuat hotline untuk kasus-kasus yang kurang mendesak. Mereka telah menangani setidaknya 25 kasus medis sejak pertempuran dimulai.

“Dokter membantu kami menangani banyak kasus, termasuk luka tembak. Tapi menjadi sulit ketika kami mengalami banyak pendarahan, yang membutuhkan rumah sakit,” kata Surketty, seraya menambahkan bahwa dua pasien telah meninggal karena kekurangan persediaan obat-obatan yang memadai.

Dari rumahnya di Arab Saudi tengah, pengembang website Freed Adel (30 tahun) telah mengubah situs web pribadinya menjadi platform tempat orang dapat meminta atau menawarkan bantuan, berdasarkan lokasi mereka. Situsnya sebagian besar membantu orang-orang di Khartoum, tempat banyak pertempuran sengit terjadi.

"Orang-orang mulai membagikan apa yang mereka butuhkan di jaringan media sosial dan ada orang lain yang memiliki persediaan yang tersedia untuk mereka bagikan juga. Saya punya ide untuk mengelompokkan semua ini di satu tempat," kata Adel.

"Kebutuhan paling banyak adalah medis, karena kurangnya layanan rumah sakit," tambahan Adel.

Di tempat lain di Khartoum, dokter berusia 25 tahun, Makram Waleed, telah membangun komunitas WhatsApp yang beranggotakan 1.200 orang. Komunitas ini dibagi menjadi beberapa kelompok untuk berbagai distrik ibu kota, agar orang-orang dapat berbagi informasi tentang persediaan kebutuhan pokok.

"Setiap kali saya melihat area tertentu, saya menemukan orang-orang benar-benar berkomunikasi dan kami berhasil mendapatkan obat dan makanan untuk beberapa orang," kata Waleed.

Kebutuhan terbesar bagi kebanyakan orang adalah air minum. Tetapi permintaan obat-obatan juga banyak, terutama untuk diabetes dan tekanan darah tinggi. "Kami tidak punya uang atau bantuan keuangan. Kami hanya berusaha untuk memudahkan komunikasi antar masyarakat," kata Waleed.

Sebagian besar rumah sakit Khartoum ditutup. Beberapa rumah sakit yang masih buka hanya menawarkan layanan terbatas, sehingga kebutuhan medis menjadi sangat tinggi.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement