Selasa 30 May 2023 17:53 WIB

Delapan Fraksi di DPR Kecuali PDIP Ingatkan MK

Pada 2008 MK pernah memutus pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Sebanyak delapan fraksi di DPR, kecuali Fraksi PDIP, menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilihan umum (Pemilu) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Sebanyak delapan fraksi di DPR, kecuali Fraksi PDIP, menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilihan umum (Pemilu) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak delapan fraksi di DPR menolak sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilihan umum (Pemilu). Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang masih menyuarakan dukungan terhadap sistem tersebut, meski akan patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kedelapan fraksi tersebut mengingatkan MK terhadap putusannya sendiri pada 2008. Saat itu, MK memutuskan untuk tak lagi digunakannya sistem proporsional tertutup pada pemilihan umum setelahnya.

Baca Juga

"Karena sistem demokrasi maka kita harus pilih terbuka. Dulu MK sudah pernah mutus terbuka 2008, katanya kan putusan MK final dan mengikat, kalaupun ada orang uji, tidak lagi kan, sudah lulus. Nah kalau dibuat tertutup ini salah," ujar Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR Saleh Partaonan Daulay di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Sistem proporsional terbuka merupakan putusan MK pada tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.

Sementara itu pada 2022, pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka kembali digugat ke MK. Sebanyak enam orang menjadi pemohon gugatan tersebut, yakni Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Yuwono Pintadi Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan, Jawa Tengah), dan Nono Marijono (warga Depok, Jawa Barat).

Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakir mengatakan, akan ada kekacauan jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 2024. Khususnya yang berkaitan dengan kontestasi para bakal calon legislatif (caleg).

"Bayangkan 300 ribu orang (bakal caleg) itu minta ganti rugi dan dia berbondong-bondong datang ke MK agak gawat juga MK itu. Jadi kalau ada yang coba mengubah-ubah sistem itu orang yang mendaftar sebanyak itu akan memprotes," ujar Kahar.

Adapun Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas mengatakan, sistem proporsional tertutup membuat rakyat tak mengenal wakilnya nanti. Rakyat seperti "membeli kucing dalam karung", karena tak mengerti latar belakang bakal calegnya.

Jelasnya, putusan terkait sistem proporsional pemilu dinilainya melampaui kewenangan MK. Apalagi objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, di mana kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

"Kami mendukung sistem proporsional terbuka, kita tidak ingin mendapat calon anggota DPR RI seperti membeli kucing dalam karung. Karena saya yakin wajah-wajah di depan kita ini wajah-wajah yang layak untuk dipilih yang juga diperkenalkan kembali perjuangan kita di masa yang akan datang," ujar Ibas.

Pada akhir konferensi pers, anggota, dan pimpinan dari delapan fraksi kompak berpegangan tangan menyuarakan yel-yel penolakan terhadap sistem proporsional tertutup. Yel-yel itu dipimpin anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman.

"Terbuka, yes. Tertutup, no. Terbuka, yes. Tertutup, no. Terbuka, yes. Tertutup, no. Terbuka, yes. Tertutup, no," teriak pimpinan delapan fraksi di DPR.

Juru Bicara MK, Fajar Laksono kemarin menjelaskan, gugatan pengujian UU Pemilu menyangkut sistem pemilu belum mencapai tahap putusan berdasarkan agenda persidangan. Perkara itu baru memasuki tahap penyerahan kesimpulan para pihak pada 31 Mei 2023.

"Setelah itu, berdasarkan persidangan dan dokumen-dokumen perkara, baru akan dibahas dan diambil keputusan oleh Majelis Hakim dalam RPH (rapat permusyawaratan hakim)," ujar Fajar. 

Selanjutnya, MK akan mengagendakan sidang pengucapan putusan ketika putusan sudah siap. Berdasarkan pantauan Republika hingga Senin siang ini, MK memang belum merilis jadwal putusan perkara yang dimaksud oleh Denny Indrayana. 

"Jadi dibahas dalam RPH saja belum," ujar Fajar

 

photo
Data Caleg Artis dari Pemilu ke Pemilu - (Infografis Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement