REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Pemuda Muhammadiyah Nasrullah menilai kewenangan penyidikan kasus korupsi tidak mungkin dihapus oleh Kejaksaan Agung.
"Kewenangan untuk penyidikan kasus korupsi tidak mungkin dihapus kejaksaan karena dasarnya kewenangan mereka terhadap pelanggaran-pelanggaran di Indonesia, termasuk korupsi," ujar Nasrullah dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (3/6/2023).
Adapun kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus perkara korupsi memang telah mempunyai kekuatan hukum yang sah dan diatur secara khusus.
Kewenangan jaksa sebagai penyidik diatur dalam banyak peraturan lain seperti Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, Peraturan Presiden RI Nomor 38 Tahun 2010 dan PERJA Nomor PER. 009/A/JA/2011, PERJA Nomor PERJA-039/A/JA/2010, Putusan MK Nomor 16/P/ UU-X/2012.
Nasrullah menilai gugatan menghapus kewenangan kejaksaan dalam mengusut kasus tindak pidana korupsi (tipikor) tidak logis sebab sudah menjadi tugas Korps Adhyaksa, termasuk dalam kasus pidana lainnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani tipikor juga tidak berarti menghapus tugas kejaksaan dalam penindakan kasus serupa. Apalagi, jaksa yang ada di KPK berasal dari kejaksaan.
"Adapun lembaga pemberantasan korupsi, seperti KPK, untuk menguatkan, bukan menghapus. Jaksa penuntut KPK kan juga berasal dari kejaksaan," katanya.
Selama ini, kata dia, Kejaksaan Agung bisa membuktikan diri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, salah satunya termasuk menangani kasus korupsi. "Jadi, tidak logis kewenangan kejaksaan mau dihapus," katanya.
Nasrullah menjelaskan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia bakal kembali turun apabila kewenangan kejaksaan untuk menangani perkara korupsi "dikebiri". Hal ini akan membuat kasus korupsi di daerah makin sulit diusut.
"Pastilah akan berpengaruh. Indonesia bukan negara kecil. Perangkat Kejaksaan Agung sampai 500-an kabupaten/kota. Jadi, siapa yang mau mengerjakan (kasus korupsi di daerah) kalau bukan mereka mau bantu?" katanya.
Sebelumnya, gugatan itu telah terdaftar di MK sejak 16 Maret lalu dengan nomor 28/PUU-XXI/2023. Dalam petitum permohonan, Jasin Jamaluddin sebagai penggugat meminta agar hakim konstitusi membatalkan Pasal 30 ayat (1) huruf D Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Selanjutnya, Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana Korupsi yang diminta untuk dibatalkan. Selain itu, Jasin juga meminta agar hakim konstitusi menghapus frasa "atau kejaksaan" dalam Pasal 44 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal-pasal tersebut dianggap sang penggugat bertentangan dengan konstitusi dasar Republik Indonesia. "Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945," katanya dalam permohonan yang teregister di MK.