REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Semakin banyak negara yang memulangkan cadangan emas sebagai antisipasi dampak sanksi yang dijatuhkan oleh Barat terhadap Rusia, menurut survei Invesco terhadap bank sentral dan dana kekayaan negara yang diterbitkan pada Senin (10/7/2023).
Guncangan pasar keuangan tahun lalu menyebabkan para otoritas moneter dan fiskal memikirkan kembali strategi mereka di tengah kenyataan inflasi yang lebih tinggi dan ketegangan geopolitik yang tetap terjadi. Lebih dari 85 persen dari 85 dana kekayaan negara dan 57 bank sentral yang ikut serta dalam Studi Invesco itu percaya bahwa inflasi sekarang akan lebih tinggi dalam dekade mendatang, demikian dilansir Reuters, Senin (10/6/2023).
Emas dan obligasi pasar negara berkembang dipandang sebagai instrumen yang bagus. Namun, pembekuan hampir separuh cadangan emas dan devisa Rusia senilai 640 miliar dolar AS oleh Barat tampaknya telah memicu pergeseran.
Sebesar 68 persen responden menyimpan cadangan emas di dalam negeri. Jumlah itu naik dibandingkan dari 50 persen responden pada 2020. Salah satu bank sentral, dikutip secara anonim, mengatakan: "Kami memang memilikinya (emas) yang disimpan di London. Tetapi sekarang kami telah mentransfernya kembali ke negara sendiri untuk disimpan sebagai tempat yang aman dan untuk menjaganya tetap aman."
Kepala Lembaga Invesco Rof Ringrow mengatakan, keinginan memulangkan cadangan emas adalah pandangan umum. ""Jika itu emas saya maka saya mau di negara saya" (telah) menjadi kalimat lazim yang telah kita lihat dalam setahun terakhir ini," kata Ringrow.
Kekhawatiran geopolitik, dikombinasikan dengan peluang di pasar negara berkembang, juga mendorong beberapa bank sentral untuk melakukan diversifikasi atas dolar. Ada kenaikan tujuh persen responden yang percaya kenaikan utang AS juga negatif untuk dolar, meskipun sebagian besar masih melihat tidak ada alternatif untuk itu sebagai mata uang cadangan dunia. Keyakinan nereka yang melihat yuan China sebagai pesaing potensial turun menjadi 18 persen, dari 29 persen tahun lalu.
Hampir 80 persen dari 142 institusi yang disurvei melihat ketegangan geopolitik sebagai risiko terbesar selama dekade berikutnya, sementara 83 persen menyebut inflasi sebagai kekhawatiran selama 12 bulan ke depan. Infrastruktur sekarang dipandang sebagai kelas aset yang paling menarik, khususnya proyek-proyek yang melibatkan pembangkit energi terbarukan.
Kekhawatiran atas China membuat India tetap menjadi salah satu negara yang paling menarik untuk investasi selama dua tahun berturut-turut. Sementara tren perusahaan membangun pabrik lebih dekat ke pasar mendukung negara-negara seperti Meksiko, India dan Brasil. Seperti halnya China, Inggris, dan Italia dipandang kurang menarik.