REPUBLIKA.CO.ID, Salwan Momika menjadi fokus perbincangan media internasional setelah ia membakar Alquran dalam sebuah unjuk rasa Swedia. Rekan senegaranya mengungkapkan latar belakang politik pencari suaka asal Irak itu. Kini motivasinya dipertanyakan.
Tindakannya tidak memicu perselisihan serius antara Irak dan Swedia pada pekan ini tapi juga protes dari dunia Arab dan Islam. Kini yang menjadi pertanyaannya adalah motivasinya membakar Alquran. Momika berencana menggelar unjuk rasa kedua pada pekan ini dan mengatakan akan kembali membakar Alquran.
Rencana ini diumumkan kuran dari satu bulan setelah pria 37 tahun itu membakar Alquran pada bulan Juni lalu di hari Idul Adha. Momika yang berada di Swedia sejak 2018 menulis biografinya di Facebook sebagai "pemikir dan penulis, atheis bebas."
Pekan ini ia tidak berhasil membakar Alquran. Dalam unjuk rasa tunggal di depan Kedutaan Besar Irak di Swedia, Kamis (20/7/2023) lalu ia menendang Alquran dan menginjak bendera Irak dan membersihkan kakinya dengan foto ulama Iran Muqtada al-Sadr dan Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei.
Aksi tersebut membuat Irak geram bahkan saat sebelum unjuk rasa benar-benar dilaksanakan. Pengikut al-Sadr menerobos masuk ke kantor kedutaan Swedia dan menyalakan api di halaman.
Perdana menteri irak memerintahkan pengusiran Duta Besar Swedia dan menarik utusan diplomasi Irak dari Swedia serta menangguhkan izin operasi perusahaan telekomunikasi Swedia Ericsson.
Direktur European Centre for Counterterrorism and Intelligence Studies yang bermarkas di Bonn, Jassim Mohamad menjelaskan mengapa responnya sangat keras. Ia mengatakan saat ini sangat panas di Irak, negara itu juga sedang dikuasai sayap religius yang menyambut bulan tersuci kedua di Islam.
"Artinya suasana hati jalanan-jalanan di Irak mengarah pada ekstremis religius," kata pria asal Irak itu seperti dikutip dari Deutsche Welle, Senin (24/7/2023).
"Ini juga dapat menjadi kesempatan bagi kelompok ulama al-Sadr untuk tampil di panggung politik dan memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah Irak," tambahnya.
Al-Sadr resmi diasingkan dari perpolitikan Irak pada tahun 2022 tapi ulama itu masih memiliki kemampuan menarik massa untuk berunjuk rasa di jalan. "Keputusan keras pemerintah Irak mendeportasi duta besar Swedia tampaknya datang dari kelompok al-Sadr, serta alasan ideologis dan keagamaannya sendiri," kata Mohammad.
Di media sosial beberapa warga Irak mempertanyakan langkah pemerintah Irak. Sementara yang lain mempertanyakan motif dan latar belakang Momika. France24 merilis investigasi yang mengungkapkan identitas Momika. Ia berasal dari negara bagian Ninawa dan beragama Kristen.
Ia tiba di Swedia pada tahun 2018 lalu dan pihak berwenang Swedia mengkonfirmasi ia mendapatkan izin tinggal pada tahun 2021. Peneliti France24 memverifikasi sejumlah video yang menunjukkan Momika mengenakan seragam militer yang memiliki asosiasi dengan kelompok milisi tertentu.
France24 menyimpulkan ia orang yang sama yang mendirikan sebuah partai politik di Irak, Partai Persatuan Demokrasi Suriah serta milisi yang terhubungan dengan partai itu pada tahun 2014. Milisinya sama seperti milisi-milisi Irak pada saat itu yang bertujuan menyingkirkan ISIS. Tapi tampaknya kemudian dikaitkan dengan kelompok-kelompok lain.
Termasuk milisi muslim syiah yang mendukungnya dan didukung negara tetangga, Iran serta milis Kurdi yang mendukung agenda lebih sekuler. Jurnalis Irak menulis Momika meninggalkan negaranya karena perebutan kekuasaan dengan ketua milisi Kristen lainnya.
Di satu titik Momika juga diduga mendukung al-Sadr, dan kemudian setuju dengan protes anti-pemerintah di Irak. Seorang anggota dewan sebuah kota mengaku di The New Arab, Momika telah melakukan penipuan di kampung halamannya.
Dalam wawancara dengan Monika pada bulan Juni lalu surat kabar Expressen melaporkan Momika juga pernah berurusan dengan hukum Swedia setelah mengancam rekan satu flatnya dengan pisau. Hal ini mengarah kecurigaan Frace24 terhadap motif unjuk rasa Momika. Laporan lain dalam bahasa Arab juga mengungkapkan kecurigaan serupa.
"Momika aktif di banyak situs media sosial, terutama TikTok dan Facebook, namun semua akunnya dibuat setelah ia mendapatkan status pengungsi dari Swedia, Momika mengunggah lusinan video di internet, kerap kali dengan tagar yang populer di negara mayoritas muslim dengan bahasa Arab, tampaknya ia ingin mencoba mendapatkan publisitas sebanyak mungkin dengan membakar Alquran," kata France24 dalam laporannya.
Izin tinggal Momika akan berakhir pada April 2024 dan pengajuannya untuk izin tinggal permanen telah ditolak. Izin tinggal permanen merupakan langkah penting untuk mendapatkan kewarganegaraan.
Momika mengaku anggota partai ekstrem kanan Swedia, Demokrat Swedia. Sebelumnya pada surat kabat Aftonbladet, ia mengatakan telah bergabung dengan partai itu pada tahun 2022 dan akan maju untuk jabatan pemerintah.
Departemen hubungan masyarakat Demokrat Swedia mengatakan tidak dapat mengkonfirmasi atau membantah keanggotaan Momika. "Atas alasan privasi dan kerahasiaan," kata partai itu.
"Mengenai dugaan seseorang berharap maju untuk jabatan pemerintah dari partai kami, sejauh ini kami tidak mengetahui adanya pengajuan seperti itu dan tidak berniat untuk berspekulasi pada skenario apa yang akan terjadi," kata juru bicara partai itu dalam pernyataan tertulisnya.
Sementara Momika belum merespon permintaan wawancara.