REPUBLIKA.CO.ID, RABAT -- Saida Bodchich sedang tidur di rumahnya di Kota Marrakesh, Maroko ketika terjadi gempa berkekuatan 6,8 skala Richter pada Jumat (8/9/2023). Dia tidak dapat melarikan diri dengan cepat sehingga terjebak di reruntuhan rumahnya.
Nasib Bodchich cukup beruntung. Para tetangga datang menyelamatkannya dan menariknya keluar dari reruntuhan.
“Saya diselamatkan oleh tetangga saya yang membersihkan puing-puing dengan tangan kosong. Saya tinggal bersama mereka di rumah mereka sekarang, karena rumah saya hancur total," ujar Bodchich, dilaporkan Aljazirah, Ahad (10/9/2023).
Lebih dari 2.012 orang tewas dan sedikitnya 2.059 orang terluka akibat gempa tersebut. Gempa juga menghancurkan bangunan bersejarah di Marrakesh, kota terbesar keempat di Maroko yang terletak sekitar 70 kilometer (43 mil) dari pusat gempa.
Banyak penduduk tidur di jalanan karena rumah mereka hancur dan takut terjadi gempa susulan. Seorang warga Marrakesh, Khadijah Satou, merasakan kamarnya “berputar” saat dia mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
“Saya baru saja berada di tempat tidur dan bersiap untuk tidur ketika keadaan mulai terasa agak goyah,” kata Satou.
“Awalnya saya berpikir, mungkin ada kebakaran di sebelah atau ada bangunan. Namun, guncangan itu bukanlah sesuatu yang normal. Saya merasa ruangan itu berputar. Itu sangat traumatis. Saya sedang membicarakannya sekarang tetapi perasaannya sangat buruk. Saya mendengar orang-orang berteriak dan kemudian saya menyadari bahwa itu adalah gempa bumi," kata Satou.
Satou berlari keluar dari apartemennya, tanpa sepatu dan tidak membawa ponsel. Tangga di gedungnya bergetar saat dia pergi.
“Saat itu, saya berpikir tidak mungkin saya bisa keluar (dari gedung apartemen). Saya pikir gempanya sangat singkat tetapi terasa sangat lama. Orang-orang menangis, takut dan semua orang saling berpelukan," ujar Satou.
Satou mengatakan, rumah bibinya di kota tua hancur. Salah satu rekannya masih berusaha menghubungi keluarganya yang tinggal di Pegunungan Atlas namun belum bisa dihubungi.
Ketika Satou mengatakan dia tidak bisa kembali ke rumahnya karena trauma dan khawatir terjadi gempa susulan. “Kami tidur di taman tadi malam karena takut akan gempa susulan. Saya trauma. Saya tidak bisa kembali ke rumah. Perasaan di jalanan cukup aneh. Saya telah melihat kota ini bahagia. Saya telah melihat kota ini sedih. Tapi kesedihan seperti ini sulit dipercaya. Orang-orang turun ke jalan karena takut pulang ke rumah," ujar Satou.
Gempa tersebut tercatat pada kedalaman 26 kilometer (16 mil) sehingga lebih dahsyat dibandingkan gempa dalam dengan kekuatan yang sama. Gempa ini merupakan gempa paling mematikan di Maroko sejak 1960. Sebagian besar korban tewas dilaporkan di daerah pegunungan di selatan Provinsi Al-Haouz dan Taroudant.
Masjid Koutoubia yang terkenal di Marrakesh dan dibangun pada abad ke-12 rusak akibat gempa. Video yang diunggah di media sosial menunjukkan kerusakan pada bagian tembok merah terkenal yang mengelilingi kota tua, yang merupakan sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO.
Di desa pegunungan Tafeghaghte dekat pusat gempa, bangunan yang didirikan dari batu bata tanah liat tradisional hancur akibat gempa. Di Amizmiz, yang terletak 55 kilometer (34 mil) selatan Marrakesh dan terletak di kaki pegunungan High Atlas, petugas penyelamat menggali puing-puing dengan tangan kosong. Seorang warga mengatakan, warga tidak hanya kehilangan rumah tetapi juga setiap keluarga berduka atas kematian orang-orang terkasih yang meninggal dalam gempa tersebut.
“Kita hidup dalam situasi krisis. Kami meminta Raja Mohamed VI turun tangan dan mengirimkan bantuan kepada kami karena kami hidup dalam situasi yang traumatis,” kata seorang warga Amizmiz, seraya menambahkan bahwa desa tersebut kekurangan listrik, makanan, dan bantuan lain yang diperlukan.
Di Moulay Brahim, sebuah desa dekat pusat gempa yang berjarak sekitar 40 kilometer (25 mil) selatan Marrakesh, penduduk menggambarkan bagaimana mereka menggali mayat dari reruntuhan menggunakan tangan kosong. “Kami kehilangan rumah dan orang-orang, dan kami tidur dua hari di luar. Tidak ada makanan. Tidak ada air. Kami juga kehilangan listrik. Kami hanya ingin pemerintah membantu kami," ujar kata Yassin Noumghar.