REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Setelah selesai Bai'at Aqabah kedua, dan setelah Islam mendapatkan wilayah yang siap menampung mereka. Maka sejak saat itu Rasulullah ﷺ mengizinkan para sahabatnya berhijrah ke Madinah.
Seperti dikutip dari Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah ﷺ disarikan dari kitab Ar-rahiqul Makhtum, Tantangan hijrah sangatlah berat. Para sahabat harus menanggung berbagai macam resiko agar dapat hijrah. Ada yang meninggalkan sanak saudaranya, hartanya, bahkan ada yang terancam jiwanya. Belum lagi meninggalkan kampung halaman yang sudah pasti berat bagi setiap orang.
Namun demikian satu persatu, kaum muslimin berhasil melakukan hijrah ke Madinah. Mereka umumnya pergi berkelompok-kelompok dan dengan sembunyi-sembunyi, sedikit saja yang pergi dengan terang-terangan.
Selang dua bulan lebih beberapa hari setelah Bai'at Aqabah kedua, akhirnya tidak ada kaum muslimin yang tersisa kecuali Rasulullah ﷺ, Abu Bakar dan Ali bin Thalib radhiallahuanhuma, serta mereka yang ditahan olah kaum musyrikin.
Sementara itu, Rasulullah ﷺ tengah menunggu-nunggu saat-saat Allah mengizinkannya berhijrah. Abu Bakar yang saat itu telah bersiap-siap untuk hijrah, diminta Rasulullah ﷺ untuk ikut menemaninya.
Setelah mengetahui kepergian para sahabat Rasulullah ﷺ ke Madinah, kaum kafir Quraisy mengalami kekalutan. Bayang-bayang bahaya besar ada di depan mereka dan merasa bahwa keberadaan mereka secara idiologis dan ekonomi sangat terancam. Sebab mereka tahu betul pengaruh Rasulullah ﷺ terhadap para sahabatnya untuk membela dan memperjuangkan aqidahnya, apalagi jika dengan kekuatan kaum muslimin Madinah yang kini telah bersatu setelah sekian lama dilanda pertikaian antara suku.
Di sisi lain, letak kota Madinah sangat strategis. Kota tersebut merupakan tempat lalu lalang kafilah dagang dari Yaman ke Syam. Saat itu penduduk Mekkah biasa melakukan perjalanan bisnis ke negri Syam dengan nilai perdagangan yang sangat tinggi. Dan semua itu sangat tergantung dengan kondisi keamanan di jalur tersebut.
Bertitik tolak dari hal itu, para pembesar Quraisy sepakat berkumpul untuk membicarakan cara paling efektif untuk menghadapi bahaya tersebut.
Maka pada hari Kamis 26 Shafar tahun 14 kenabian, diadakan pertemuan yang paling penting dalam sejarah suku Quraisy di Daarunnadwah, tempat yang biasa mereka pergunakan untuk bermusyawarah membicarakan masalah-masalah penting di tengah masyarakat.
Pada pertemuan tersebut, semua utusan dari suku-suku Quraisy berupaya memadamkan cahaya dakwah yang dibawa Rasulullah ﷺ. Hadir pula dalam pertemuan tersebut, seorang tua yang mengaku dirinya sebagai orang tua dari Nadj, sebenarnya dia adalah setan yang menyerupai manusia.
Setelah berembuk sekian lama, akhirnya mereka sampai pada kesepakatan untuk membunuh Rasulullah ﷺ. Kesepakatan itu diambil setelah Abu Jahal menyampaikan pendapat tersebut, dengan cara setiap suku mengirimkan seorang pemudanya yang gagah perkasa serta dibekali sebilah pedang yang tajam. Kemudian mereka diperintahkan secara bersama membunuh Rasulullah ﷺ.
Pendapat inilah yang akhirnya disepakati, dan ternyata dikuatkan oleh orang tua dari Najd tadi.