Selasa 10 Oct 2023 00:20 WIB

Paparan Suhu Panas Ekstrem Bisa Turunkan Kemampuan Kognitif Lansia

Cuaca panas ekstrem sangat membawa konsekuensi buruk bagi kesehatan.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nora Azizah
Paparan suhu panas yang ekstrem berkaitan dengan penurunan kesehatan kognitif pada lansia.
Foto: Hippopx
Paparan suhu panas yang ekstrem berkaitan dengan penurunan kesehatan kognitif pada lansia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim tampaknya tak hanya membawa konsekuensi buruk bagi lingkungan, tetapi juga kesehatan. Studi terbaru menunjukkan bahwa paparan suhu panas yang ekstrem berkaitan dengan penurunan kesehatan kognitif pada lansia.

Peneliti Eunyoung Choi dari Leonard Davis School of Gerontology di University of Southern California mengungkapkan bahwa saat ini kekhawatiran terhadap perubahan iklim tampak semakin besar. Terlebih, dampak dari perubahan iklim seperti gelombang panas, semakin sering muncul dan intens.

Baca Juga

Di Amerika Serikat misalnya, panas ekstrem telah menjadi penyebab utama kematian terkait cuaca di negara tersebut. Angka kematian akibat panas ekstrim bahkan telah melampaui total jumlah kematian akibat badai, tornado, dan petir.

Terkait panas ekstrim, Choi mengungkapkan bahwa sudah ada cukup banyak studi yang menyoroti dampak jangka pendeknya terhadap kesehatan. Oleh karena itu, Choi dan timnya terdorong untuk melakukan studi yang lebih mendalam mengenai dampak paparan panas terhadap kesehatan manusia.

"Kami bermaksud memahami dampak kesehatan jangka panjang dari paparan panas ekstrim yang konsisten," ungkap Choi, seperti dilansir Psypost pada Ahad (8/10/23).

Studi yang dilakukan oleh Choi dan timnya melibatkan hampir 9.500 data orang dewasa berusia 52 tahun atau lebih di Amerika Serikat. Data-data ini dikumpulkan dalam kurun waktu 12 tahun, mulai dari 2006 hingga 2018.

Tim peneliti lalu mengkalkulasikan paparan panas ekstrim kumulatif yang didapatkan oleh para partisipan selama kurun waktu 12 tahun tersebut. Kalkulasi ini dilakukan dengan menggunakan informasi-informasi yang berkaitan dengan faktor sosial ekonomi dari para partisipan.

Dari perhitungan ini, tim peneliti menemukan bahwa sekitar 17,3 persen partisipan mendapatkan paparan panas ekstrem kumulatif yang sangat tinggi. Partisipan disebut mendapatkan paparan sangat tinggi bila terpapar panas ekstrem minimal 13,1 hari per tahun.

Tim peneliti lalu menemukan bahwa paparan panas ekstrem dapat memberikan efek yang beragam terhadap penurunan kognitif para partisipan. Perbedaan ini tampak dipengaruhi oleh ras dan status sosial ekonomi lingkungan tempat tinggal para partisipan.

Penurunan kognitif tampak terjadi lebih cepat pada partisipan berkulit hitam dengan paparan panas ekstrem kumulatif yang tinggi. Akan tetapi, paparan panas ekstrim serupa tidak memberikan efek yang signifikan terhadap penurunan kognitif di antara partisipan berkulit putih.

Selain itu, pengaruh paparan panas ekstrem terhadap penurunan fungsi kognitif tampak lebih terlihat pada partisipan yang tinggal di lingkungan kurang beruntung. Sebaliknya, paparan panas ekstrem tampak tidak memberikan dampak yang nyata pada partisipan yang tinggal di lingkungan menengah ke atas.

"Temuan utama dalam studi kami adalah paparan panas ekstrim berkepanjangan berkaitan dengan penurunan kognitif pada lansia, tetapi hanya terjadi pada individu berkulit hitam dan orang-orang yang tinggal di lingkungan kurang beruntung," tambah Choi.

Temuan ini mengindikasikan pentingnya mengembangkan kebijakan yang ditargetkan pada individu atau komunitas yang paling berisiko terhadap paparan panas ekstrim. Individu atau komunitas berisiko ini perlu mendapatkan akses terhadap sumber daya, fasilitas kesehatan, hingga dukungan sosial agar terhindar dari dampak negatif paparan panas ekstrim.

Sebagai contoh, pemerintah setempat dapat membuat perencanaan terkait penempatan pohon di lingkungan tempat orang-orang berisiko tinggal. Meski tampak sepele, hal ini bisa memberikan dampak yang sangat besar bagi orang-orang berisiko untuk mendapatkan tempat berteduh dan terhindar dari paparan panas ekstrim.

"Mengatasi kesenjangan ini membutuhkan lebih dari sekedar solusi jangka pendek," lanjut Choi.

Tentu, studi terbaru ini masih memiliki sejumlah keterbatasan karena hanya berfokus pada suhu udara di luar ruangan. Selain itu, tes kognitif yang digunakan oleh tim peneliti mungkin belum bisa memberikan gambaran penuh mengenai performa kognitif para partisipan.

Terlepas dari itu, tim peneliti mengungkapkan bahwa studi ini ingin mengajak orang-orang untuk mengubah paradigma dalam menanggulangi masalah panas ekstrim akibat perubahan iklim. Masalah ini perlu ditanggulangi dengan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya bagi kehidupan.

"Kita harus mempertimbangkan bagaimana kota-kita kita dirancang, bagaimana komunitas kita dibangun, dan bagaimana sistem layanan kesehatan kita dipersiapkan untuk menanggulangi dampak kronis dari paparan panas," ujar Choi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement