REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus, menilai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, tak layak sebagai ketua majelis persidangan perkara batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Sebab, ada hubungan keluarga antara Anwar sebagai hakim dengan salah satu pemohon perkara tersebut, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Kaesang Pangarep.
“Karena Gibran ini disebut sejak lama akan dipasangakan dengan Prabowo, bersamaan dengan itu Kaesang juga jadi Ketua Umum PSI, sementara PSI menjadi salah satu pemohon dalam perkara uji materi ini, itulah yang menempatkan posisi Anwar Usman menjadi tidak layak memimpin persidangan perkara itu sebagai ketua majelis maupun sebagai hakim konstitusi,” ujar Petrus dalam diskusi di Jakarta, Ahad (15/10/2023).
Dia menjelaskan, ketentuan di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan aturan yang terkait dengan persoalan itu. Di mana, dalam hal seorang hakim berkepentingan atau memiliki hubungan keluarga sedarah dan sampai derajat ketiga, dia harus mengundurkan diri dari perkara yang dia tangani.
“Itu kata ketentuan pasal 17 ayat 3, 4, 5. Itu mengatur tentang hakim-hakim yang berkepentingan dengan para pihak yang berperkara harus mengundurkan diri dari perkara itu,” jelas Petrus.
Tapi, yang menjadi persoalan dari situasi saat ini adalah seluruh hakim konstitusi punya kepentingan di dalam perkara yang mereka tangani. Selain Usman dengan proses uji materi batas usia capres-cawapres, hakim konstitusi lain juga berkepentingan atas nasib mereka di masa depan dalam perkara uji materil batas usia minimal hakim konstitusi. Jika ketentuan hakim berkepentingan harus mundur dijalankan, maka seluruh hakim MK harus mundur.
“Kalau semuanya harus mundur. Tidak ada lagi hakim yang akan menyidangkan perkara ini. Beda dengan mundurnya seorang hakim dalam perkara-perkara di pengadilan negeri, PTUN, pengadilan agama, atau peradilan milter yang misal satu punya hubungan kepentingan, entah itu keluarga atau hubungan lain-lain, dia bisa mundur dan digantikan,” kata dia.
Sebab itu, dia menilai, jika para hakim konstitusi tetap memaksakan memutus kedua perkara itu, baik mengabulkan atau menolak, maka putusan apa pun dapat dianggap salah.
Petrus menerangkan, di dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, ketika seorang hakim dalam posisi berkepentingan kemudian menyidangkan perkaranya hingga memberikan putusan, maka hakim tersebut dapat dijerat pidana.
“Maka diberi sanksi administrasi, pidana, dan putusannya itu tidak sah. Itu kata UU. Jadi, besok ini putusan kabul atau tolak putusan itu tidak sah. Apalagi kalau dikabulkan. Tetapi problemnya, di UU MK menyatakan, putusan MK bersifat final dan mutlak seketika itu juga. Jadi akan ada pertentangan, ada dua kondisi yang bertolak belakang,” jelas Petrus.
Menurut Petrus, kondisi yang tengah berjalan tersebut sudah merusak sistem hukum dan demokrasi. Bahaya itulah yang dia sebut tengah bangsa ini hadapi. Di mana, MK menjadi rusak di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode keduanya.
“Inilah bahaya yang kita hadapi. Bagaimana rusaknya MK di era Presiden Jokowi periode kedua,” kata dia.