REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Masyayikh (lembaga mandiri dan independen) menyatakan pondok pesantren kini lebih bebas memilih bentuk pendidikan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan santrinya, tanpa harus mendirikan sekolah formal.
Sekretaris Majelis Masyayikh A Muhyiddin Khotib dalam keterangannya di Jakarta, Ahad, mengatakan, dengan pengakuan pemerintah secara penuh kepada pesantren, maka apapun pendidikan yang dimilikinya akan dapat meluluskan santri yang siap kuliah atau masuk ke dunia kerja.
"Secara legalitas saat ini sudah tidak ada masalah, karena apapun bentuk pendidikannya akan tetap direkognisi pemerintah, sehingga ijazahnya setara dengan pendidikan formal," kata Muhyiddin.
Pesantren telah berkontribusi mencerdaskan bangsa mulai zaman penjajahan hingga masa reformasi sampai saat ini. Namun pada era Orde Baru pesantren tidak diakui dan dikeluarkan dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Oleh karena itu, lulusan pesantren tidak diakui ijazahnya, sehingga harus menempuh ujian persamaan apabila ingin kuliah atau melanjutkan ke jenjang formal.
Kondisi ini, kata dia, membuat banyak pesantren harus berkompromi dengan pemerintah, dengan cara mengubah pendidikannya menjadi formal berbentuk SD-SMA atau Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah.
"Pertaruhannya adalah metode pendidikan lama yang menjadi andalan pesantren, yaitu bandongan dan sorogan menjadi tidak terpakai. Kemudian pesantren beralih ke sekolah-sekolah formal yang mengikuti kurikulum pemerintah, sehingga kualitasnya turun," katanya.
Tetapi pada saat ini, era penyeragaman sudah berakhir dengan terbitnya UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Pesantren diberi kebebasan mengatur pendidikannya sendiri tanpa harus mengikuti kurikulum Kemendikbud maupun Kemenag.
"Sekolahnya tidak harus formal, silabusnya bebas, sistem, jam masuk, dan aturannya juga bebas," katanya.
Maka dari itu pondok pesantren diminta menunjukkan kembali kualitas pendidikan pesantren yang dari dulu dikenal unggul dalam ilmu-ilmu agama.
"Kami merekomendasikan kurikulum pesantren tetap berbasis kitab," katanya.
Menurut Muhyiddin, isu utamanya saat ini adalah kualitas, bukan lagi pengakuan. Saat ini lulusan pesantren bisa melanjutkan pendidikan atau melamar pekerjaan di mana saja dengan menggunakan ijazah dari pesantren.
"Tentang kualitasnya saat ini sedang dibangun sistem penjaminan mutu oleh Majelis Masyayikh," katanya.