Rabu 24 Jan 2024 03:59 WIB

Pajak Hiburan Malam Naik Siapa yang Dirugikan?

Pemerintah telah memberikan relaksasi dengan kembali menggunakan tarif lama

Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024). Pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen yang diatur dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif PBJT tersebut dikhususkan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung menyanyi di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024). Pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen yang diatur dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif PBJT tersebut dikhususkan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ichsan Emrald Alamsyah, Wartawan Republika

Sebelumnya tidak ada yang sadar bahwa pajak hiburan, terutama hiburan malam, mengalami kenaikan. Hingga kemudian, salah satu penyanyi Indonesia yang juga pengusaha tempat karaoke, Inul Daratista mengeluh di media sosial.

Inul, pemilik usaha rumah karaoke Inul Vizta menyebut aturan kenaikan pajak hiburan sama saja tindakan bunuh diri. Kenaikan ini menurut dia, bisa menyebabkan usahanya gulung tikar setelah sebelum dihantam pandemi. Apalagi ada sekitar 5.000 karyawan yang mengais rejeki di Inul Vizta.

Menurut Inul kondisi usaha karaoke saat ini terbilang sepi dengan kenaikan pajak sebelumnya 25 persen. Sementara bila harus naik 40 persen mau tidak mau ia akan menutup usaha.

Selain Inul, beberapa asosiasi dan pengacara Hotman Paris Hutapea juga bersuara keras menolak kenaikan ini. Hal ini pun membuat implementasi tarif pajak hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, yang mulai diterapkan pada 5 Januari 2024, akhirnya ditunda usai menuai pro kontra. 

Hal ini diungkapkan Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani. Berdasarkan pertemuan dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, ia menyebut aturan batas tarif baru untuk pajak hiburan tertentu yang saat ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) belum akan diberakukan untuk saat ini.

Ia menyebut Pemerintah telah memberikan relaksasi dengan kembali menggunakan tarif lama. Bila mengacu pada kebijakan lama, pengenaan tarif pajak hiburan di setiap daerah berbeda-beda, dimana yang tertinggi adalah DKI Jakarta sebesar 25 persen sementara pusat pariwisata di Indonesia yaitu Bali 15 persen.

Kemudian yang jadi pertanyaan apa untung-rugi dari penerapan aturan baru ini, yang jelas pengusaha hiburan, terutama hiburan malam tidak mau aturan tarif batas baru diberlakukan. Sementara pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman Purwadi Purwoharsojo menilai penerapan pajak hiburan sebesar 40 persen–75 persen yang diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi daerah.

Menurut Purwadi, kenaikan pajak hiburan tersebut tidak sejalan dengan kondisi ekonomi makro yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19. Ia menilai, pajak hiburan yang tinggi akan memberatkan pengusaha dan konsumen, terutama di kota-kota metropolis seperti Samarinda dan Balikpapan. 

Purwadi menjelaskan, pajak hiburan yang tinggi akan menambah beban konsumen yang menikmati makan, minum, atau belanja produk tertentu. Pendapatan daerah lebih mengandalkan pajak dan harga barang sebagai sumber pendapatan negara, tanpa memaksimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus kepada insentif pajak bagi pengusaha besar yang berinvestasi di sektor sumber daya alam.

Purwadi berharap, pemerintah tidak mengambil keputusan secara sepihak tanpa berdiskusi dengan pengusaha terkait penerapan pajak hiburan. Ia menginginkan adanya dialog antara pemerintah dan pengusaha untuk mencari solusi yang tidak merugikan semua pihak.

Sementara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan bahwa kenaikan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) khususnya pada kategori kesenian dan hiburan dilakukan dalam rangka pengendalian kegiatan tertentu. Dimana pemerintah, sedang melakukan fungsi regulatory atau melakukan pengendalian. 

Alasannya, menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana hanya tarif bar, kelab malam, diskotek, mandi uap (spa), serta karaoke yang mengalami kenaikan. Sedangkan sejumlah kategori dalam PBJT justru turun dengan adanya aturan tersebut, misalnya tarif bioskop, pergelaran busana, kontes kecantikan, hingga konser musik, termasuk terkait acara-acara kebudayaan. 

"Sektor ini sebelumnya ditetapkan 35 persen menjadi saat ini 10 persen. Kenaikan hanya pada jasa hiburan tertentu yaitu bar, kelab malam, diskotek, mandi uap dan karaoke karena ini dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat tertentu," ujarnya.

UU HKPD sejatinya dirumuskan untuk mendukung tata kelola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang adil, selaras, dan akuntabel. Selain itu, beleid ini juga menjadi upaya untuk menata perkembangan desentralisasi fiskal serta mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.

Hingga kemudian Pemerintah mengambil jalan tengah yaitu berupa insentif. Insentif itu berupa pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) badan sebesar 10 persen. Insentif ini merupakan usulan Presiden Joko Widodo saat menggelar rapat terbatas tentang pajak hiburan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Skema pemberian insentif sektor pariwisata itu bentuknya berupa pengurangan pajak dalam bentuk pemberian fasilitas Ditanggung Pemerintah (DTP) dimana 10 persen dari PPh Badan, sehingga besaran PPh Badan yang tarifnya 22 persen akan menjadi 12 persen.

Kebijakan ini menurut Airlangga masih dikaji Kementerian Keuangan dan stakehoder lainnya. Pemerintah, ungkap Airlangga, memastikan akan segera menerbitkan aturan tersebut dalam jangka waktu dekat.

Eksesif Negatif

Hiburan sejatinya adalah hal yang berada di luar sandang, pangan dan papan. Hanya saja kembali kepada maknanya, semua orang memang membutuhkan hiburan. Meski begitu menulis memandang, hiburan yang mengalami kenaikan tinggi ini benar-benar berada pada level eksklusif dimana tidak semua orang akan datang ke lokasi tersebut. Berbeda dengan bioskop misalnya, kita tahu bahwa tidak semua orang akan datang ke spa atau klub malam.

Makanya tidak heran kita, masyarakat baru mengetahui aturan yang sudah diketuk sejak 2022 ini dari media sosial. Karena ada umumnya tidak ada masyarakat yang terpengaruh aturan ini.

Dari sini sudah benar artinya aturan kenaikan pajak progresif ini tidaklah menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Apalagi bila ditelaah lebih jauh UU HKPD juga terkait dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yaitu penyelarasan aturan pajak hiburan, harmonisasi belanja daerah dan penguatan peran daerah. 

Apalagi kita tahu ada eksesif negatif dari kehadiran hiburan malam. Mulai dari penggunaan narkoba, kekerasan di tempat atau sekitar tempat hiburan hingga bahaya terselubung prostitusi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement