Selasa 06 Feb 2024 10:14 WIB

Relasi Politik dan Dakwah

Nia Kurniati Syam

Nia Kurniati Syam
Foto: Dok Republika
Nia Kurniati Syam

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG----Bertepatan dengan perhelatan pesta politik menjelang Pemilu 2024, sebagian masyarakat masih memandang dakwah dan politik adalah dua bidang yang berbeda. Bahkan, sebagian muslim melihat politik sebagai aktivitas kurang positif sehingga meyakini kegiatan politik dan dakwah harus dipisahkan.

Keyakinan ini kadang kala menggiring kepada fenomena politik yang mengabaikan moralitas agama. Kiai-kiai politikus, misalnya, dengan mudahnya berpindah dari satu partai politik ke partai lainnya. Alasannya, politik, termasuk pilihan partai, hanyalah masalah keduniaan semata dan kehidupan dunia itu hanya permainan belaka. 

Baca Juga

Parahnya, mereka melegitimasi pandanganya dari ayat bahwa “Tiadalah kehidupan dunia ini kecuali main-main dan permainan belaka?” (Q.S. Al-‘Ankabut:34). Pandangan politik seperti itu cukup rawan karena masuk pada ranah politisasi agama. Teks suci keagamaan ditafsirkan secara sepihak demi kepentingan pribadi dan nafsu keduniawian. Menilik dari kacamata dakwah, pemikiran politik seperti itu sangat merugikan.

Dakwah dan politik sebenarnya memiliki relasi organik. Dakwah dari bahasa Arab: da’a, yad’u berarti seruan, panggilan, undangan, atau doa (Tajiri, 2015). Namun, pengertian dakwah bukan persoalan ajakan keagamaan semata. Dakwah meliputi penerjemahan nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan politik (Anshori, 1985). 

Kitab suci Al-Qur’an, seperti dalam Q.S. Yusuf: 108 dan An-Nahl:125, mengimplikasikan untuk berdakwah secara jujur tanpa manipulatif, penuh kebijaksanaan, tanpa kekerasan, dan berorientasi kepada kemaslahatan manusia. 

Karena itu, dakwah adalah gerakan untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan manusia. Semua ranah kehidupan dapat dijadikan arena dakwah, tak terkecuali permasalahan politik. Politik menyangkut kekuasaan, termasuk cara dan proses pengelolaan pemerintahan sebuah negara. Karena itu, kegiatan politik merupakan salah satu kegiatan hidup yang urgen.

Peranan politik dalam masyarakat modern sangat menentukan corak sosial ekonomi, politik, budaya, hukum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Bagi setiap muslim, kegiatan politik harus menjadi bagian integral dari kehidupannya yang utuh. Nabi Muhammad SAW saja bukan hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin politik saat membangun peradaban di Kota Madinah.

Politik sebagai alat dakwah memiliki prinsip-prinsip yang harus ditaati. Jalan politik tidak boleh menggunakan kekerasan, paksaan, penyesatan, atau bahkan pemutarbalikan fakta kebenaran. Politik tidak diperkenankan mengelabui masyarakat. 

Di samping itu, harus ada keterbukaan, kejujuran, rasa tanggung jawab, serta keberanian menyatakan “yang benar itu benar, dan yang salah itu salah”. Politik yang memiliki ciri-ciri di atas sudah tentu fungsionalnya sesuai tujuan utama dakwah.

Politik dan dakwah pada hakikatnya saling berkaitan satu sama lain dalam urusan fungsional, bahkan organik. Ada dua jenis politik, yaitu low politics (politik berkualitas rendah) dan high politics (politik berkualitas tinggi). 

Politik rendah diwarnai dengan kekerasan, kebrutalan, kekejaman, dan interaksi yang tidak etis. Namun, Islam hanya membahas politik tingkat tinggi yang dalam praktiknya demi kebaikan masyarakat.

Setidaknya, ada tiga ciri yang harus dimiliki politik berkualitas tinggi. Pertama, setiap jabatan politik hakikatnya adalah amanah (trust). Kedua, setiap jabatan politik mengandung dalam dirinya pertanggungjawaban (accountability) sebagaimana diajarkan oleh Nabi bahwa setiap individu adalah pemimpin yang harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. 

Ketiga, politik harus dikaitkan dengan prinsip ukhwah (brotherhood), yakni persaudaraan dalam arti luas melampaui batas-batas ras, etnis, dan agama (Rais, 1998). Dengan demikian, politik tidak perlu dipertentangkan dengan aktivitas dakwah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement