REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad), Profesor Susi Dwi Harijanti menyoroti ihwal membludaknya jumlah orang atau kelompok yang mengajukan diri menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan terkait perkara sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, 'banjir' amicus curiae itu merupakan akumulasi dari masyarakat yang terusik rasa keadilannya sepanjang gelaran Pilpres 2024.
"Ini (banjir amicus curiae) karena rasa keadilan masyarakat yang terusik. Keterusikan itu terakumulasi lewat amicus curiae di MK," kata Susi ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (18/4/2024).
"Puluhan amicus curiae ini memperlihatkan bahwa Pilpres 2024 itu memang menjadi pilpres yang dipertanyakan oleh banyak pihak," ujarnya menambahkan.
Per Jumat (19/4/2024), MK telah menerima 47 orang atau kelompok yang mengajukan diri menjadi amicus curiae. Para sahabat pengadilan itu sudah menyerahkan dokumen pendapatnya atau amicus brief kepada kesekretariatan MK untuk dijadikan pertimbangan bagi majelis hakim dalam membuat putusan. Pihak MK mengakui, baru dalam sengketa Pilpres 2024 ada amicus curiae dan jumlahnya langsung banyak.
Susi menjelaskan, akumulasi dari terusiknya rasa keadilan masyarakat itu bermula dari Putusan MK Nomor 90. Putusan tersebut membukakan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres meski belum berusia 40 tahun. Belakangan, Majelis Kehormatan MK menyatakan bahwa hakim Anwar Usman melanggar kode etik dalam proses pembuatan putusan yang menguntungkan keponakannya itu.
Menurut Susi, putusan 90 itu adalah titik awal munculnya berbagai pelanggaran etik lain dan ketidakadilan sepanjang gelaran Pilpres 2024. "Coba MK dulu tidak memutuskan putusan 90, mungkin pemilu akan berjalan dengan damai dalam artian kompetisinya fair," ujarnya.
Setelah putusan 90, kata Susi, rasa keadilan masyarakat kembali terusik oleh proses pendaftaran Gibran sebagai cawapres di KPU. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan para komisioner KPU melanggar kode etik dalam proses penerimaan pendaftaran Gibran.
Rasa keadilan publik, kata dia, kembali terusik kerika Presiden Jokowi mengatakan, bahwa UU Pemilu memperbolehkan presiden berkampanye untuk salah satu pasangan capres-cawapres. Menurut Susi, Jokowi keliru mengartikan pasal.
Kemudian, rasa keadilan masyarakat terusik lagi oleh dugaan Presiden Jokowi menyalahgunakan bansos untuk kepentingan pemenangan Prabowo-Gibran. Lalu, dugaan Presiden Jokowi mengerahkan penjabat (pj) kepala daerah untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
Masalahnya lagi, ujar Susi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak tuntas memproses semua dugaan pelanggaran Presiden Jokowi itu. Tidak tuntasnya proses di Bawaslu itu semakin mempertebal ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.
Susi menyebut, semua rasa ketidakadilan yang dialami masyarakat itu pada akhirnya disalurkan lewat amicus curiae sengketa hasil Pilpres 2024, tahapan terakhir yang menjadi kunci penentu hasil pemilihan. Menurut dia, MK lewat putusannya nanti harus mengoreksi semua ketidakadilan pemilu yang muncul selama ini.
"MK yang memulai, maka MK yang harus mengakhiri," kata Susi, sosok yang pernah menjadi salah satu kandidat hakim konstitusi itu.