REPUBLIKA.CO.ID, Sehari usai Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akhirnya mengesahkan Undang-Undang 1945 sebagai konstitusi negara yang baru berusia sehari tersebut. Pengesahan itu termasuk dengan penetapan Pancasila sebagai dasar negara, sebagaimana yang tercantum di bagian preamble atau pembukaan UUD 1945.
Pengesahan ini sekaligus menegaskan komitmen para pendiri bangsa terkait nilai-nilai atau falsafah yang bakal dijadikan dasar dan landasan bagi bangsa Indonesia. Menyitir dari istilah yang digunakan Bung Karno dalam pidatonya di sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, Pancasila akhirnya telah disepakati untuk ditetapkan sebagai philosofische grondslag atau sebagai landasan, pondasi, filsafat dasar, dari bangunan besar yang bernama Indonesia.
Akhirnya sejarah pun telah mencatat, pemaknaan dan penafsiran terhadap Pancasila terus berubah. Tujuh puluh satu tahun sejak ditetapkan sebagai dasar negara, Pancasila dimaknai secara beragam di setiap rezim pemerintahan. Mulai saat Putra Sang Fajar, Sukarno, berada di tampuk kekuasaan pada Orde Lama, hingga Indonesia memasuki Orde Reformasi.
Bahkan, tidak jarang penafsiran lima sila yang dilambangkan dengan simbol bintang, kepala banteng, pohon beringin, rantai, dan padi-kapas itu justru menyimpang dari nilai-nilai sejati Pancasila, yang diharapkan para pendiri bangsa sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Berikut bagaimana setiap rezim memaknai Pancasila dan 'penyimpangan' yang mereka lakukan.
(Baca Juga: Polemik Bung Karno Bukan Penggali Pancasila)