REPUBLIKA.CO.ID, Jiwa pandu Jenderal Soedirman sudah ada sejak muda. Kepanduannya tertanam, sebelum bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA).
Soedirman mengasah dan menunjukkan jiwa pandu dalam wadah Hizbul Wathan. Gerakan kepanduan cinta Tanah Air yang dicetuskan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan pada 1918.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut Soedirman sebagai pembina dan aktivis Hizbul Wathan. Soedirman dan Muhammadiyah tak terpisahkan. Sejak kecil, Soedirman hidup di lingkungan Muhammadiyah. Jenderal besar itu juga mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah.
Sebagai pembina, Soedirman pernah membawa sekelompok calon kader Hizbul Wathan ke Kecamatan Batur, Kecamatan Banjarnegara yang masuk kawasan Dieng. Soedirman menggembleng untuk menyadarkan kebesaran Tuhan YME. Soedirman ingin calon kader itu memiliki karakter saleh dan zuhud agar berkepribadian kuat pendirian dan prinsip, serta berani berkorban untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara.
Dalam acara Muktamar Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan III di Surakarta, Jawa Tengah tiga tahun lalu, Haedar Nashir membaca pesan pandu yang disampaikan Soedirman saat di Batur. Suasana dingin dataran tinggi Dieng, kalah oleh bakaran semangat dari Soedirman.
“Adik-adik … udara di sini akan sangat dingin, jika api unggun kita dipadamkan. Tetapi, di sini, kita dengan jelas bisa melihat bintang-bintang, lebih gemerlapan. Seolah memberi tahu kita tentang kekuasaan Tuhan di cakrawala sana.
Suara-suara burung, apabila kita besok mendaki bukit ini, juga akan mengangungkan kebesaran Tuhan. Di kompleks ini, di sini, kita menjumpai mata air, dan beberapa langkah ke atas sana, akan terdapat penguburan.
Air merupakan sumber hidup dan permulaan hidup. Di kuburan itulah, akhir kehidupan untuk sampai pada kehidupan di alam yang lain.
Di sini, kita akan tidur di atas tikar. Suatu cara untuk melatih hidup sederhana. Kita akan makan makanan yang kita masak sendiri, mencuci piring sendiri, dan mengambil air sendiri dari mata air yang jernih. Kita harus mencari kayu sendiri. Segala pekerjaan harus kita kerjakan bersama untuk membiasakan hidup bersama dalam tatanan masyarakat yang saling menolong.
Betapa pun untuk menguasai diri kita, kita harus siap dibangunkan dan menerima giliran jaga. Nah, sekarang, kecuali yang menerima giliran jaga, boleh pulang (ke tenda) melepas lelah.”
“Itulah pesan Soedirman,” kata Haedar.
Dalam buletin terbitan Perpustakaan Nasional berjudul Bung Karno, Soedirman memulai pendididkan di Hollandsche Inlansche School (HIS) pada usia sembilan tahun. Dia tamat HIS pada 1931. Setahun kemudian, Soedirman melanjutkan sekolah setingkat SMP di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) hingga 1934. Selanjutnya, Soedirman bersekolah di H.I.K (sekolah guru) Muhammadiyah Solo.
Baru setahun menempuh pendidikan, Soedirman harus pulang ke Cilacap. Sebab, kakak dari ibunya, Raden Cokrosunaryo meninggal dunia.
Kemudian, Soedirman menjadi guru di H.I.S Muhammadiyah. Saat itu, Soedirman mulai aktif di kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Watan. Soedirman masih seorang pengajar ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942. Kemudian, dia bergabung dengan PETA, bentukan Jepang pada 1944.
Petrik Matanasi dalam buku Sang Komandan menulis, karier militer Soedirman mulai melejit kala memimpin pertempuran Ambarawa. Jenderal bintang lima itu tak memiliki darah militer dalam keluarganya, apalagi keluaran akademi militer. Soedirman hanya pandu Hizbul Wathan yang menjalani pelatihan singkat untuk menjadi perwira PETA, dengan pangkat setara kapten. n Umi Nur Fadhilah