Sebagai contoh, pemikiran Aristoteles mengenai substansi dan aksiden. Yang pertama tersebut merupakan hal yang utama dan fundamental. Itu membedakannya dengan kategori-kategori lainnya yang adalah aksidennya belaka.
Katakanlah, sebuah meja. Substansinya adalah maujud meja. Adapun model, warna, fungsinya di ruangan, dan lain-lain itu sekadar aksidennya. Totalitas benda itu adalah meja.
Bahwa benda itu terbuat dari kayu, berwarna hijau, dipakai untuk makan, dan lain-lain itu hanyalah menunjukkan kekhasannya, yang bukan pokok fundamental tentangnya.
Mengenai teori Aristoteles itu, Ibnu Bajjah menambahkan perihal empat aksiden rohani yang dipandangnya berpusat dalam diri insan. Pertama, aksiden yang muncul karena adanya indra.
Kedua, aksiden yang lahir lantaran adanya tingkah laku. Misalnya, rasa dahaga membuat orang segera mencari air. Dua aksiden terawal ini tidak hanya ditemukan pada manusia, tetapi juga binatang.
Ketiga, aksiden yang terwujud melalui hasil pemikir an akal rasional. Inilah yang dimiliki manusia (biasa). Keempat, aksiden yang ada akibat akal aktif". Wahyu yang diterima nabi, mimpi yang benar, atau ilham yang diperoleh seorang bijaksana, dapat digolongkan ke dalam jenis yang terakhir ini.
Pembahasannya mengenai akal aktif tidak terlepas dari legasi al-Farabi. Sang guru kedua berpandangan, setiap insan memiliki watak bawaan sehingga siap menerima bentuk-bentuk pengetahuan universal, termasuk kebenaran (tentang adanya Tuhan).
Watak bawaan itu diistilahkannya sebagai akal potensial (al-'aql bi al-quwwah). Seperti tampak pada namanya, isinya adalah potensi-potensi yang akan mengabstraksikan bentuk-bentuk pengetahuan yang diserapnya. Akal potensial, setelah itu, meningkat menjadi akal aktual (al-'aql bi al-fi'il).
Proses abstraksi, menurut al-Farabi, hanya dapat terjadi setelah akal potensial menerima cahaya dari akal aktif. Hubungan antara akal aktif dan akal potensial itu seumpama matahari dan mata-manusia.