Kamis 25 Jul 2024 21:32 WIB

Ke Dukuh Gumuk, Melihat Praktik Konservasi Daerah Resapan Air di Hulu Pusur

Tantangan tersulit dari upaya konservasi adalah mengubah pola pikir warga.

Diinisiasi sejak 2017, Kopi Gumuk menjadi salah satu sumber penghasilan penduduk Dukuh Gumuk di Desa Mriyan, Boyolali, Jateng.
Foto: Dok Republika
Diinisiasi sejak 2017, Kopi Gumuk menjadi salah satu sumber penghasilan penduduk Dukuh Gumuk di Desa Mriyan, Boyolali, Jateng.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Aqua melakukan upaya melestarikan sumber mata airnya dengan konservasi lingkungan di hulu, tengah, hingga hilir. Untuk pabriknya yang di Klaten, Jawa Tengah, Aqua berkolaborasi dengan Pusur Institute untuk melestarikan sumber daya air di Sub-DAS (Daerah Aliran Sungai) Pusur.

Sub-DAS Pusur, juga dikenal sebagai Sungai Pusur, merupakan anak sungai Bengawan Solo yang membentang sepanjang 36,8 km. Alirannya melintasi tiga kabupaten, yaitu Boyolali, Klaten, dan Sukoharjo, serta enam kecamatan dan 49 desa.

Baca Juga

Head of Climate & Water Stewardship Danone Indonesia, Ratih Anggraeni, mengatakan melestarikan air hanya bisa dilakukan secara komprehensif. "Jadi yang dilakukan itu intinya bagaimana kita mengembalikan kembali air ke tanah, caranya tidak semata-mata dengan menanam pohon saja," ujar Ratih, dalam media visit ke Dukuh Gumuk yang terletak di Kecamatan Konservasi Tamansari di Kabupaten Boyolali, Rabu (24/7/2024).

Dalam praktik bisnisnya, setelah perusahaan mengetahui di mana area konservasi airnya maka dilakukan upaya meresapkan air di hulu. Pelestarian area hulu ini dilakukan dengan sejumlah cara. "Yang pertama pertanian regeneratif," kata Ratih.

Praktik tersebut di Dukuh Gumuk terwujud dalam tiga bentuk. Yaitu, membuat terasering atau intervensi terkait kontur tanah. Kemudian, melakukan praktik tanama variatif dan terakhir mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Kontur lahan di Dukuh Gumuk yang berbukit rentan banjir. Praktik terasering merupakan intervensi agar air yang mengalir deras bisa tertahan optimal di tanah. Penanaman aneka tanaman juga membantu proses penyerapan air.

Ketua Konservasi Anggrek Merapi, Joko Susanto, mengatakan setelah praktik pertanian monokultur ditinggalkan warga merasakan dampak ekonomi dari intervensi. "Dulu kami itu hanya menanam bunga mawar dan tembakau. Bunga mawar jadi penghasilan harian, untuk bunga tabur makam. Tembakau tidak panen setiap saat. Sekarang ada tanaman yang bisa dipanen jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Warga jadi bisa terjamin setiap waktu karena ragam tanamannya lebih banyak. Musuh kami di sini cuma monyet yang mengacak-acar sayuran," katanya.

Dukuh Gumuk berada di kaki Merapi, ketinggiannya yang lebih dari 1.000 mdpl membuat daerah ini juga bisa ditanami kopi dan teh. Dulu kopi dan teh ditanam warga karena warisan era Belanda. Setelah itu tanaman kopi dan teh tidak optimal, setidaknya tidak bisa digunakan untuk menghidupi warga.

Praktik penanaman yang variatif termasuk dilakukan untuk kopi dan teh. Tanaman teh dan kopi di Dukuh Gumuk, disebut Ketua RT Dukuh Gumuk sekaligus petani kopi Painu lebih ditanam untuk fungsi konservasi.

"Kebun kopi dan teh bukan komoditas utama, sifatnya adalah tanaman pendamping sama seperti alpukat," terang Painu. Meski pendamping, kopi dan teh kini bisa dijadikan komoditas yang menguntungkan warga.

Kopi Arabica Gumuk terbatas produksinya kira-kira hanya 2 ton tiap masa panen. Kopi Gumuk namun sudah memiliki penggemar dan bisa ditemukan di kedai kopi di sekitar Klaten serta Boyolali.

Untuk kopi, Aqua membantu menyediakan bibit, pelatihan, dan perlengkapan kedai kopi. Selain itu, pohon-pohon kopi yang dibudidaya berfungsi sebagai penahan longsor yang kerap terjadi di Desa Mriyan.

Selain itu ada upaya konservasi budidaya angrek spesies Merapi, termasuk spesies langka Vanda Tricolor. Konservasi anggrek dilakukan dengan merawat anggrek di rumah kaca yang tersedia selama dua tahun sebelum mengembalikannya ke Taman Nasional Gunung Merapi.

Angrek yang dikembalikan ke taman nasional akan diletakkan di pohon sebagai inang. Harapannya warga tidak akan menebang pohon yang berangrek, sekaligus menjadikan pohon sebagai sarana resapan air.

Ratih menambahkan, upaya konservasi yang paling menantang sebenarnya bukan dari segi tanah atau pertanian. "Tantangan utamanya itu mengubah pola pikir masyarakat. Masyarakat harus melihat dulu dampak nyata konservasi, yaitu meningkatnya kesejahteraan warga. Baru masyarakat semangat melakukan upaya-upaya konservasi," kata Ratih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement