REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perjalanan intelektual Ibnu al-Rawandi ini patut menjadi bahan peringatan umat Islam, akan bahayanya mengagungkan akal tanpa diimbangi dengan ketajaman spiritual.
Dia "selalu menyebut dirinya sendiri: “Ketahuilah bahwa saya adalah seorang ateis"! Ini adalah deskripsi dari Ahmad ibn Yahya al-Rawandi (wafat sekitar tahun 298 H/912 M), salah satu "ateis" yang paling terkenal di sepanjang sejarah Islam.
Al-Khayyat tidak menjelaskan kepada kita mengapa Ibn al-Rawandi mengakui ateisme yang dituduhkan kepadanya, yang membuatnya terancam pengusiran dan bahaya besar, sehingga Imam Ibn Aqil al-Hanbali (wafat tahun 513 H/ 1124 M) merasa heran karena ia lolos dari hukuman Sultan, padahal ia telah melakukan hal yang sangat keji, ia berkata, "Heran saya! Bagaimana dia tidak dibunuh?"
Ibn al-Rawandi mendobrak seluruh paradigma Islam dengan menuduh adanya kekeliruan dalam Alquran dan menulis karya-karya yang digambarkan oleh para ulama sebagai "terkutuk", meskipun faktanya ia tumbuh di salah satu inkubator "rasionalitas", yaitu gerakan Mu'tazilah. Ia salah satu dari mereka dan dididik oleh mereka hingga perbedaan antara dirinya dengan para pemimpin "organisasi" tersebut berkobar dan ia diusir dari sana untuk selamanya.